Tuesday, August 2, 2011

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN ANTHRAX

I. Definisi dan Etiologi
Antraks adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Bacillus anthracis. Penyakit tersebut merupakan zoonosis khususnya binatang pemakan rumput seperti domba, kambing, dan ternak. Manusia terinfeksi penyakit ini apabila endospora masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang lecet atau luka, inhalasi atau makanan yang terkontaminasi. Secara alamiah manusia dapat terinfeksi apabila terjadi kontak dengan binatang yang terinfeksi antraks atau produk binatang yang terkontaminasi kuman antraks. Walaupun jarang, penularan melalui gigitan serangga juga dapat terjadi. Penyebaran spora melalui aerosol potensial digunakan pada peperangan dan bioterorisme.
Antraks kulit merupakan infeksi yang paling sering terjadi, dan ditandai dengan lesi kulit terlokalisasi dengan eschar (ulkus nekrotik) sentral dikelilingi edema non pitting. Antraks inhalasi ditandai dengan mediastinitis hemorhagik, infeksi sistemik yang progresif, dan mengakibatkan angka kematian yang tinggi. Antraks gastrointestinal jarang terjadi dan dihubungkan dengan mortalitas yang tinggi.
II. Edpidemiologi
Kejadian luar biasa epizootik pada herbivora pernah terjadi pada tahun 1945 di Iran yang mengakibatkan 1 juta domba mati. Program vaksinasi pada binatang secara dramatis menurunkan mortalitas pada binatang piaraan. Walaupun demikian spora antraks tetap ada dalam tanah pada beberapa belahan dunia. Di Amerika Serikat dilaporkan 18 kasus antraks inhalasi dari tahun 1900 – 1976. Hampir semua kasus terjadi pada pekerja yang mempunyai risiko tertular antraks, seperti tempat pemintalan bulu kambing atau wool atau penyamakan kulit. Tidak ada kasus antraks inhalasi di AS sejak tahun 1976. Secara alamiah antraks kulit merupakan bentuk yang paling sering terjadi dan diperkirakan terdapat 2000 kasus pertahunnya di seluruh dunia.
Pada umumnya penyakit timbul setelah seseorang terpajan dengan hewan yang Sejak September 2001 tercatat 12 kasus antraks di AS, dua kasus inhalasi (satu kasus fatal) terjadi pada pekerja penerbit tabloid di Boca Raton, Florida, empat kasus inhalasi antraks (dua kasus fatal) terjadi pada pekerja pengirim surat di Washington DC, Trenton, New Jersey. Enam kasus lainnya menderita antraks kulit. Dari surat kabar dilaporkan 28 orang di kantor senat terpapar antraks pada swab nasal. terinfeksi antraks. Di AS dilaporkan 224 kasus antraks kulit dari tahun 1944-1994. Centers for diseases Control and Prevention (CDC) melaporkan kejadian antraks kulit dari tahun 1984-1993 hanya tiga orang, dan satu kasus dilaporkan terjadi pada tahun 2000.6 Kejadian luar biasa terjadi di Zimbabwe pada tahun 1978-1980 yang mengakibatkan 10.000 orang terjangkit antraks kulit terutama pada pekerja perkebunan.

Kejadian di Indonesia
Menurut SUMANEGARA 1958, kejadian Anthrax di Indonesia pada sapi, kerbau, kambing, domba dan babi antara tahun 1906 sampai 1957, terdapat di daerah-daerah :
1. Sumatra dan Kalimantan : Jambi, Palembang, Padang, Bengkulu, Buktitinggi, Sibolga dan Medan.
2. Jawa dan Madura : Jakarta, Purwakarta, Bogor, Priangan, Banten, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Surakarta, Bayumas, Madiun, dan Bojonegoro.
3. Nusa Tenggara : Di semua pulau seperti di Sumbawa, Sumba, Lombok, Flores, Timur Roti dan juga Bali.
4. Sulawesi : Sulawesi Selatan, Menado, Donggala dan Palu.
Dibeberapa tempat di Jawa Barat dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir telah terjadi lima kali wabah yaitu tahun 1996 di kabupaten Purwakarta, Subang, Bekasi dan Karawang, tahun 1997 di kabupaten Purwakarta, Subang dan Karawang, tahun 1999 di kabupaten Purwakarta, Subang dan Bekasi, tahun 2000 di kabupaten Purwakarta, dan tahun 2001 di kabupaten Bogor seiring dengan mendekatnya Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha di tiga kecamatan yaitu Citeureup, Cibinong dan Babakan Madang yang mengakibatkan 2 orang meninggal dunia.

III. Patogenesis
Bakteri Bacillus anthracis menginduksi terjadinya respon inflamasi jaringan berupa nekrosis dan pendarahan. Lesi kulit yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis diawali dengan masuknya endospora melalui kulit yang mengalami abrasi, kemudian bakteri mencapai target utamanya di lapisan subkutan. Di tempat ini bakteri berproliferasi dan menyebabkan edema lokal dan nekrosis. Makrofag yang mengenali adanya invasi kemudian memfagositosis endospora. Endospora yang difagosit kemudian berprolierasi di dalam makrofag menjadi bakteri vegetative. Kemudian bakteri ini dibawa makrofag menuju kelenjar limfa regional. Kemudian bakteri vegetatif ini dilepaskan dari makrofag, bermultiplikasi di dalam kelenjar getah bening regional menyebabkan limfadenitis hemoragik regional.
Bakteri dapat menyebar melalui darah dan getah bening dan dalam jumlah besar dapat menyebabkan septikemia berat. Tingginya kadar eksotoksin yang diproduksi dapat menyebabkan kematian. Faktor virulensi utama bakteri Bacillus anthracis adalah binary exotoxins, oedema dan lethal toxins yang dikode oleh dua plasmid yaitu pXO1 dan pXO2. Toksin yang masuk ke dalam menyebabkan efek sistemik bahkan dapat mengakibatkan kematian. Plasmid pXO1 berukur an 184,5 kbp berfungsi dalam mengkode gen yang berperan dalam meningkatkan sekresi eksotoksin. Kompleks gen-toksin terdiri dari gen pengkode antigen protektif, gen pengkode faktor letal, dan gen pengkode faktor edema.
Ketiga komponen eksotoksin bergabung untuk membentuk dua racun biner. Toksin edema merupakan adenilat siklase yang tergantung kalmodulin yang dapat meningkatkan kadar C-AMP intraseluler yang mengandung antigen pelindung sehingga memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel tubuh. Peningkatan konsentrasi C-AMP seluler menyebabkan gangguan homeostasis air dan diyakini bertanggung jawab atas terjadinya edema massif, hal ini terlihat pada anthrax cutaneous. Selain itu, toksin edema juga secara invitro dapat menghambat fungsi netrofil. Faktor lethal merupakan metalloprotease yang secara in vitro dapat menonaktifkan protein kinase.
Toksin lethal dapat menyebabkan kondisi hiperinflamasi pada makrofag, mengaktifkan jalur pemecahan oksidatif dan pelepasan reaktif oksigen intermediet, serta meningkatkan produksi sitokin pro inflamasi, seperti faktor tumor nekrosis ( TNFa) dan interleukin-1b, yang bertanggung jawab terhadap kerusakan dan kematian sel. Bakteri Bacillus anthracis menghasilkan eksotoksin LF (Lethal Factor) dan EF (Edema Factor) disamping menghasilkan Protective Antigen (PA) . Antigen pelindung (PA) dari toksin anthrax mengikat ATR pada permukaan sel host. Bentuk PA yang berukuran 83-kDa dipecah oleh sel protease purin permukaan dan menghasilkan monomer 63-kDa.
Heptamer isasi PA menginduksi pengelompokan ATRs, kemudian ter jadi hubungan kompleks ATRs dengan ikatan lipid, dan domain binding faktor edema (EF) atau faktor letal (LF). Kemudian ter jadi endositosis EF dan LF. EF menyebabkan kenaikan cAMP yang menyebabkan edema sel, sedangkan LF merupakan metalloprotease yang memiliki kofaktor Zn2+ mengalami translokasi ke sitosol melalui pori membran dan menyebabkan nekrosis dan hipoksia pada sel.

IV. Klasifikasi
Inhaled anthrax (antrax inhalasi)
Dimana spora anthrax terhirup dan masuk ke dalam saluran pernapasan. Antraks inhalasi dimulai dengan masuknya spora ke dalam rongga alveolar, kemudian makrofag akan memfagosit spora dan sebagian dari spora akan lisis dan rusak. Spora yang tetap hidup akan menyebar ke kelenjar getah bening dan kelenjar mediastinal. Proses perubahan bentuk vegetative terjadi kurang lebih 60 hari kemudian. Lambatnya proses perubahan bentuk tidak diketahui dengan pasti, akan tetapi terdokumentasi dengan baik di Sverdlovsk bahwa kasus antraks inhalasi terjadi antara hari ke-2 hingga hari ke-43 setelah terpajan.
Sekali proses germinasi terjadi, penyakit akan timbul secara cepat dan replikasi bakteri menyebabkan perdarahan, edema, dan nekrosis. Secara klasik gejala klinis antraks inhalasi bersifat bifasik. Pada fase awal, 1-6 hari setelah masa inkubasi timbul gejala yang tidak khas berupa demam ringan, malaise, batuk non produktif, nyeri dada atau perut, dan biasanya tanpa disertai kelainan fisik, penyakit akan masuk ke dalam fase kedua. Pada fase tersebut secara mendadak timbul demam, sesak napas akut, diaforesis, dan sianosis. Akibat pembesaran kelenjar getah bening, pelebaran mediastinum, dan edema subkutan di dada dan leher yang dapat menimbulkan obstruksi trakea maka stridor dapat terjadi.

Cutaneous anthrax (antrax kulit)
Dimana spora anthrax masuk melalui kulit yang terluka. Proses masukkany spora ke dalam manusia sebagian besar merupakan cutaneous anthrax (95% kasus). Hampir pada 95% kasus antraks yang terjadi di AS merupakan antraks kulit. Penderita biasanya memiliki riwayat kontak dengan binatang atau produknya. Beberapa kasus dilaporkan terjangkit antraks kulit akibat gigitan serangga yang diduga terinfeksi akibat memakan bangkai yang mengandung antraks. Daerah yang terkena terutama muka, ekstremitas, atau leher. Endospora masuk melalui kulit yang lecet atau luka. Satu hingga tujuh hari setelah endospora masuk, terbentuk lesi kulit primer yang tidak nyeri dan papula yang gatal.
Dua puluh empat sampai 36 jam kemudian lesi membentuk vesikel yang berisi cairan jernih atau serosanguineus, dan mengandung banyak kuman Gram positif. Vesikel kemudian mengalami nekrosis sentral, mengering dan menimbulkan eskar (ulkus nekrotik) kehitaman yang khas yang dikelilingi edema dan vesikel keunguan. Edema biasanya terjadi lebih hebat pada kepala atau leher dibandingkan badan atau tungkai. Limfangitis dan limfadenopati yang nyeri dapat ditemukan mengikuti gejala sistemik yang terjadi. Walaupun antraks kulit dapat sembuh sendiri, akan tetapi antibiotik tetap perlu diberikan (dapat mengurangi gejala sistemik yang terjadi). Pada 80-90% kasus lesi sembuh secara sempurna tanpa komplikasi atau jaringan parut.
Edema maligna jarang terjadi, ditandai dengan edema hebat, indurasi, bula multipel, dan syok. Edema maligna dapat terjadi pada leher dan daerah dada yang menyebabkan kesulitan bernapas, sehingga diperlukan kortikosteroid atau intubasi.

Gastrointestinal anthrax
Dimana daging dari hewan yang dikonsumsi tidak dimasak dengan baik sehingga masih megandung spora dan termakan. Gejala biasanya timbul 2-5 hari setelah memakan daging mentah atau kurang matang yang terkontaminasi kuman. Beberapa kasus dapat terjadi di dalam satu rumah. Pada pemeriksaan patologi dengan menggunakan mikroskop dapat ditemukan basil dalam mukosa dan submukosa jaringan limfe dan limfadenitis mesenterika. Ulserasi hampir selalu ditemukan. Pada jaringan di sekitar tempat infeksi ditemukan edema masif dan nekrosis. Sejumlah besar kuman Gram positif dapat ditemukan pada cairan peritoneal.
Pelebaran mediastinum dapat juga terjadi. Gejala klinis berupa demam, nyeri abdomen difus, konstipasi, atau diare. Oleh karena ulserasi yang terjadi maka buang air besar atau muntah menjadi kehitaman atau kemerahan. Dapat terjadi asites yang jernih sampai purulen (bila dilakukan kultur sering ditemukan koloni B. Anthracis). Kematian terjadi akibat perdarahan, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, perforasi, syok, atau toksemia. Bila penderita dapat bertahan hidup maka sebagian besar gejala akan hilang dalam 10-14 hari. Pengendapan dan germinasi spora di orofaring dapat menimbulkan antraks orofaring. Gejala klinis berupa sakit teggorokan yang hebat, demam, disfagia, dan terkadang karena limfadenitis dan edema masif dapat terjadi respiratory distress.



V. Tanda dan Gejala
1. Antraxs inhalasi
• Stadium pertama onset awal (1-4 hari) malaise (kelemahan), lemah, mialgia (nyeri otot), batuk tidak produktif, rasa tertekan di dada, demam.
• Stadium kedua perburukan (24 jam) sesak nafas akut, sianosis, stridor, diaphoresis, demam perdarahan mediastinal, meningismus, septik syok, koma.
2. Antraks kulit
Demam subfebris, sakit kepala, bisul merah kecil yang nyeri. Kemudian lesi tadi membesar, menjadi borok, pecah dan menjadi sebuah luka, kelainan berupa papel, vesikel yang berisi cairan dan jaringan nekrotik berbentuk ulsera yang ditutupi oleh kerak berwarna hitam, kering yang disebut eschar ( pathognomonik ) disekitar ulkus, sering didapatkan eritema dan edema. Pada perabaan edema tersebut tidak lunak dan tidak lekuk ( non pitting ) bila ditekan disebut juga malignant pustule.
3. Antraks gastro intestinal
Mual, pusing, muntah, tidak nafsu makan, suhu badan meningkat, muntah berwarna coklat atau merah, buang air besar berwarna hitam (melena), sakit perut yang sangat hebat (melilit).

VI. Pemeriksaan Penunjang

Kelainan kulit berupa ulkus yang dangkal disertai krusta hitam yang tidak nyeri patut dicurigai suatu antraks kulit. Ditemukannya basil Gram positif pada pemeriksaan cairan vesikel merupakan temuan yang khas pada antraks kulit tetapi diagnosis pasti baru dapat ditegakkan bila biakan kuman positif. Karena mirip penyakit gastrointestinal lainnya maka antraks gastrointestinal sering sulit didiagnosis. Adanya riwayat makan daging yang dicurigai mengandung kuman antraks disertai dengan gejala nause, anoreksia, muntah, demam, nyeri perut, hematemesis, dan diare (biasanya disertai darah) sangat membantu penegakan diagnosis penyakit antraks.
Dari pewarnaan Gram yang dilakukan, bahan diambil dari darah dan atau cairan asites, dapat ditemukan basil antraks. Untuk pemeriksaan biakan, bahan diambil dari apusan faring (antraks faring), darah, dan cairan asites. Diagnosis antraks inhalasi juga sulit ditegakkan. Seseorang yang tiba-tiba mengalami gejala seperti flu yang mengalami perburukan secara cepat dan disertai hasil pemeriksaan foto toraks menunjukkan pelebaran mediastinum, infiltrat, dan atau efusi pleura, sangat patut dicurigai menderita antraks inhalasi (apalagi bila pada penderita tersebut juga ditemukan antraks kulit). Pada pewarnaan Gram bahan diambil dari darah, cairan pleura, cairan serebrospinalis, dan lesi kulit, dapat ditemukan basil antraks.
Untuk pemeriksaan biakan bahan diambil dari darah, cairan pleura, cairan serebrospinalis, dan lesi kulit. Pada pemeriksaan langsung pewarnaan Gram dari lesi kulit, cairan serospinal atau darah yang mengandung kuman antraks akan menunjukkan basil besar, encapsulated, dan Gram positif. Pada kultur darah tampak pertumbuhan pada agar darah domba berupa koloni nonhemolitik, besar, nonmotil, Gram positif, berbentuk spora, dan tidak tumbuh pada agar Mac Conkey. Nilai prediksi pemeriksaan kultur apusan hidung (swab nasal) untuk menentukan antraks inhalasi belum diketahui dan belum pernah diuji.
Oleh karena itu CDC tidak menganjurkan pemeriksaan tersebut sebagai pemeriksaan diagnostik klinis. Tes serologis berguna secara retrospektif dan membutuhkan dua kali pengambilan yaitu pada fase akut dan penyembuhan. Pemeriksaan dengan menggunakan cara ELISA untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen protektif dan antigen kapsul

VII. Penatalaksanaan
Pengobatan
Pemberian antibiotik intravena direkomendasikan pada kasus antraks inhalasi, gastrointestinal dan meningitis. Pemberian antibiotik topikal tidak dianjurkan pada antraks kulit. Antraks kulit dengan gejala sistemik, edema luas, atau lesi di kepala dan leher juga membutuhkan antibiotic intravena. Walaupun sudah ditangani secara dini dan adekuat, prognosis antraks inhalasi, gastrointestinal, dan meningeal tetap buruk. B. anthracis alami resisten terhadap antibiotik yang sering dipergunakan pada penanganan sepsis seperti sefalosporin dengan spektrum yang diperluas tetapi hampir sebagian besar kuman sensitif terhadap penisilin, doksisiklin, siprofloksasin, kloramfenikol, vankomisin, sefazolin, klindamisin, rifampisin, imipenem, aminoglikosida, sefazolin, tetrasiklin, linezolid, dan makrolid. Bagi penderita yang alergi terhadap penisilin maka kloramfenikol, eritromisin, tetrasikilin, atau siprofloksasin dapat diberikan. Pada antraks kulit dan intestinal yang bukan karena bioterorisme, maka pemberian antibiotik harus tetap dilanjutkan hingga paling tidak 14 hari setelah gejala reda. Jenis antibiotik yang dapat digunakan. Oleh karena antraks inhalasi secara cepat dapat memburuk, maka pemberiaan antibiotik sedini mungkin sangat perlu. Keterlambatan pemberian antibiotik sangat mengurangi angka kemungkinan hidup. Oleh karena pemeriksaan mikrobiologis yang cepat masih sulit dilakukan maka setiap orang yang memiliki risiko tinggi terkena antraks harus segera diberikan antibiotik sambil menunggu hasil pemeriksaan laboratorium. Sampai saat ini belum ada studi klinis terkontrol mengenai pengobatan antraks inhalasi. Untuk kasus antraks inhalasi Food and Drug Administration (FDA) menganjurkan penisilin, doksisiklin, dan siprofloksasin sebagai antibiotik pilihan.

















VIII. Pencegahan
1. Profilaksis Setelah Terpajan
Karena antraks berasal dari bioterorisme mungkin dilakukan perubahan strain yang resisten terhadap beberapa antibiotik maka siprofloksasin merupakan obat pilihan utama. Mengingat kemungkinan adanya β-laktamase maka oleh CDC pemberian amoksisilin sebagai profilaksis setelah pajanan hanya dapat diberikan setelah 10-14 hari pemberian fluorokuinolon atau doksisiklin atau bila terdapat kontraindikasi terhadap dua jenis tersebut (misalnya ibu hamil, menyusui, usia < 18 tahun, atau terdapat intoleransi). Mengingat kemungkinan adanya perubahan strain yang resisten terhadap beberapa antibiotik pada bioterorisme maka kelompok kerja pertahanan sipil di AS yang terdiri atas para ahli menganjurkan pemberian siprofloksasin (doksisiklin sebagai alternatif) sebagai salah satu obat dari rejimen kombinasi antibiotik yang diberikan pada ibu hamil penderita antraks inhalasi. Selain itu kelompok kerja tersebut juga menganjurkan pemberian siprofloksasin (doksisiklin sebagai alternatif) pada ibu hamil untuk pengobatan infeksi antraks inhalasi pada kejadian massal atau profilaksis setelah pajanan. Pada ibu hamil, bila doksisiklin yang diberikan, maka pemeriksan fungsi hati secara periodik harus dilakukan. 2. Vaksinasi Di AS pemberian vaksin antraks (anthrax vaccine adsorbed/AVA) terhadap kelompok risiko tinggi terpajan spora sudah rutin dilakukan. Sebanyak 0,5 ml AVA yang disuntikkan secara subkutan diberikan pada minggu ke 0, 2, dan 4, dan bulan ke 6, 12, dan 18, selanjutnya booster dilakukan setiap tahun.1 Para ahli yang terdapat pada kelompok kerja pertahanan sipil di AS mengemukakan bahwa pada penduduk yang terpajan kuman antraks akibat bioterorisme maka pemberian antibiotik selama 60 hari setelah pajanan ditambah dengan vaksinasi akan memberikan proteksi yang optimal 3. Pengendalian Infeksi dan Dekontaminasi Belum pernah ada laporan yang mengatakan adanya transmisi antraks dari manusia ke manusia baik di komunitas maupun di rumah sakit. Oleh karena itu penderita antraks dapat dirawat di ruang rawat biasa dengan tindakan pencegahan yang umum dilakukan. Menghindari kontak terhadap penderita hanya diberlakukan pada penderita antraks kulit dengan lesi yang berair. Pakaian yang terkena cairan lesi kulit atau alat-alat laboratorium yang terkontaminasi sebaiknya dibakar atau dimasukkan ke dalam autoklaf. Dekontaminasi dapat dilakukan dengan memberikan larutan sporosidal yang biasa dipakai di rumah sakit pada tempat yang terkontaminasi. Bahan pemutih atau larutan hipoklorit 0,5% dapat dipergunakan untuk dekontaminasi. Pencegahan Pada manusia • Tidak memakan daging tercemar Anthrax. • Tidak menyembelih hewan yang sakit, atau jatuh karena sakit. • Tidak memanfaatkan atau bersentuhan dengan daging, jerohan, kulit, tanduk tulang, dan rambut atau bagian tubuh lainnya dari hewan/ternak penderita Anthrax. • Mencuci bersih bahan makanan sebelum dimasak. • Memasak daging dan jerohan sampai matang, karena spora dapat dimusnahkan pada suhu 90 derajat C selama 45 menit atau 100 derajat C selama 10 menit. • Mencuci tangan sebelum makan. Pada Hewan Sehat • Semua hewan ternak (sapi, kambing, domba, kerbau, babi, kuda) harus di vaksin secara teratur 2 kali dalam setahun. • Ternak yang sehat, tapi tinggal sekelompok dengan yang sakit diberi suntikan serum atau antibiotik, dan setelah kurang lebih 5 hari baru divaksin. • Kebersihan dan kesehatan kandan selalu di jaga dengan membersihkan kotoran dan memberikan desinfectan. • Hewan ternak diberi pakan yang tidak bercampur dengan tanah • Bagi hewan ternak besar (kerbau dan sapi) jangan terlalu dipaksakan bekerja berat, karena keletihan dan kurang makan dapat mempermudah berjangkitnya wabah anthrax. Pada Hewan Sakit • Dipisahkan dari ternak yang sehat. • Pengobatan dengan serum dan atau kombinasi antibiotik (penicillium, Streptomycin,Oxitetracyclin,Chloramphenicol) atauterapi (Sulametazine,Sulafanilamide, Sulafapyridin danlain-lain). • Melakukan vaksinasi setelah sembuh. IX. Pathway terlampir X. Pengkajian Pada pengkajian dilakukan wawancara dan pemeriksaan fisik untuk memperoleh informasi dan data yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk membuat rencana asuhan keperawatan klien. a. Keadaan Umum Klien mengeluh nyeri kepala dan demam, rasa sakit perut yang hebat b. Tanda-tanda Vital Meliputi pemeriksaan:  Tekanan darah: rendah (<120/80mmHg)  Pulse rate lemah dan cepat (>100 kali/menit)
 Respiratory rate meningkat (>20 kali /menit)
 Suhu meningkat (>37,5OC)
c. Riwayat penyakit sebelumnya
Ditanyakan apakah sebelumnya klien pernah mengalami luka, kontak dengan hewan dengan antrax
d. Pola Fungsi Keperawatan
a. Aktivitas istirahat
Gejala : Kelemahan
b. Sirkulasi
Tanda : Takikardi,
Gejala: berkeringat, sianosis
c. Eliminasi
Gejala : Ketidakmampuan defekasi , Diare
Tanda : distensi abdomen. Penurunan bising usus,peningkatan bising usus
d. Makanan dan cairan
Gejala : disfagia, mual, muntah.
d. Nyeri atau ketidaknyamanan
Gejala : Nyeri abdomen, nyeri otot
Tanda : Distensi
e. Pernapasan
Terdengar stridor, dispnea, batuk dengan sputum purulen, pemeriksaan radiologi tampak pelebaran mediastinum , efusi pleura, , pada pewarnaan gram bahan diambil dari darah,cairan pleura, cairan serebrospinal, dan lesi anthrax ditemukan basil anthrax.
f. Integumen
Terdapat lesi kulit primer yang tidak nyeri dan papula yang gatal, vesikel yang berisi cairan jerni, vesikel mengalami nekrosis sentral menimbul eskar (ulkus nekrotik) kehitaman yang khas dikelilingi edema dan vesikel keunguan.
e. Pemeriksaan Diagnostik
• Pemeriksaan radiologi tampak pelebaran mediastinum , efusi pleura.
• Pemeriksaan cairan vesikel ditemukan bakteri gram positif.
• Pada pewarnaan gram bahan diambil dari darah,cairan pleura, cairan serebrospinal, dan lesi anthrax ditemukan basil anthrax.
• Pemeriksaan ELIZA terdeteksi antibodi terhadap antigen protekstif dan antigen kapsul.

XI. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas ditandai dengan terdengar stridor, dispnea, batuk dengan sputum purulen, pemeriksaan radiologi tampak pelebaran mediastinum , efusi pleura
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru ditandai dengan dispnea, menggunakan otot bantu pernapasan, RR meningkat 28 x /menit
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ditandai dengan klien mengeluh nyeri , dispnea, nadi cepat, klien tampak gelisah
4. Kerusakan menelan berhubungan dengan obstruksi mekanik ( edema orofaring) ditandai dengan klien menunjukkan sulit menelan, mengeluh nyeri ketika menelan
5. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas traktus GI ditandai dengan klien mengatakan sulit BAB, suara usus hipoaktif, adanya darah dalam feses, feses keras
6. Diare berhubungan dengan peningkatan motilitas GI ditandai dengan BAB cair dan leebih dari 3 kali/hari, suara usus hiperaktif dan nyeri perut
7. Kerusakan intergritas jaringan berhubungan dengan iritan toksin bakteri anthrax ditandai dengan terdapat lesi kulit primer yang tidak nyeri dan papula yang gatal, vesikel yang berisi cairan jerni, vesikel mengalami nekrosis sentral menimbul eskar (ulkus nekrotik) kehitaman yang khas dikelilingi edema dan vesikel keunguan
8. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolic ditandai dengan peningkatan suhu tubuh diatas rentang normal (36,5-37,5), RR meningkat 28 x / menit, dan kulit berwarna merah
9. PK Infeksi
10. PK Perdarahan GI

1 comment: