Tuesday, August 2, 2011

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN ANTHRAX

I. Definisi dan Etiologi
Antraks adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Bacillus anthracis. Penyakit tersebut merupakan zoonosis khususnya binatang pemakan rumput seperti domba, kambing, dan ternak. Manusia terinfeksi penyakit ini apabila endospora masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang lecet atau luka, inhalasi atau makanan yang terkontaminasi. Secara alamiah manusia dapat terinfeksi apabila terjadi kontak dengan binatang yang terinfeksi antraks atau produk binatang yang terkontaminasi kuman antraks. Walaupun jarang, penularan melalui gigitan serangga juga dapat terjadi. Penyebaran spora melalui aerosol potensial digunakan pada peperangan dan bioterorisme.
Antraks kulit merupakan infeksi yang paling sering terjadi, dan ditandai dengan lesi kulit terlokalisasi dengan eschar (ulkus nekrotik) sentral dikelilingi edema non pitting. Antraks inhalasi ditandai dengan mediastinitis hemorhagik, infeksi sistemik yang progresif, dan mengakibatkan angka kematian yang tinggi. Antraks gastrointestinal jarang terjadi dan dihubungkan dengan mortalitas yang tinggi.
II. Edpidemiologi
Kejadian luar biasa epizootik pada herbivora pernah terjadi pada tahun 1945 di Iran yang mengakibatkan 1 juta domba mati. Program vaksinasi pada binatang secara dramatis menurunkan mortalitas pada binatang piaraan. Walaupun demikian spora antraks tetap ada dalam tanah pada beberapa belahan dunia. Di Amerika Serikat dilaporkan 18 kasus antraks inhalasi dari tahun 1900 – 1976. Hampir semua kasus terjadi pada pekerja yang mempunyai risiko tertular antraks, seperti tempat pemintalan bulu kambing atau wool atau penyamakan kulit. Tidak ada kasus antraks inhalasi di AS sejak tahun 1976. Secara alamiah antraks kulit merupakan bentuk yang paling sering terjadi dan diperkirakan terdapat 2000 kasus pertahunnya di seluruh dunia.
Pada umumnya penyakit timbul setelah seseorang terpajan dengan hewan yang Sejak September 2001 tercatat 12 kasus antraks di AS, dua kasus inhalasi (satu kasus fatal) terjadi pada pekerja penerbit tabloid di Boca Raton, Florida, empat kasus inhalasi antraks (dua kasus fatal) terjadi pada pekerja pengirim surat di Washington DC, Trenton, New Jersey. Enam kasus lainnya menderita antraks kulit. Dari surat kabar dilaporkan 28 orang di kantor senat terpapar antraks pada swab nasal. terinfeksi antraks. Di AS dilaporkan 224 kasus antraks kulit dari tahun 1944-1994. Centers for diseases Control and Prevention (CDC) melaporkan kejadian antraks kulit dari tahun 1984-1993 hanya tiga orang, dan satu kasus dilaporkan terjadi pada tahun 2000.6 Kejadian luar biasa terjadi di Zimbabwe pada tahun 1978-1980 yang mengakibatkan 10.000 orang terjangkit antraks kulit terutama pada pekerja perkebunan.

Kejadian di Indonesia
Menurut SUMANEGARA 1958, kejadian Anthrax di Indonesia pada sapi, kerbau, kambing, domba dan babi antara tahun 1906 sampai 1957, terdapat di daerah-daerah :
1. Sumatra dan Kalimantan : Jambi, Palembang, Padang, Bengkulu, Buktitinggi, Sibolga dan Medan.
2. Jawa dan Madura : Jakarta, Purwakarta, Bogor, Priangan, Banten, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Surakarta, Bayumas, Madiun, dan Bojonegoro.
3. Nusa Tenggara : Di semua pulau seperti di Sumbawa, Sumba, Lombok, Flores, Timur Roti dan juga Bali.
4. Sulawesi : Sulawesi Selatan, Menado, Donggala dan Palu.
Dibeberapa tempat di Jawa Barat dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir telah terjadi lima kali wabah yaitu tahun 1996 di kabupaten Purwakarta, Subang, Bekasi dan Karawang, tahun 1997 di kabupaten Purwakarta, Subang dan Karawang, tahun 1999 di kabupaten Purwakarta, Subang dan Bekasi, tahun 2000 di kabupaten Purwakarta, dan tahun 2001 di kabupaten Bogor seiring dengan mendekatnya Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha di tiga kecamatan yaitu Citeureup, Cibinong dan Babakan Madang yang mengakibatkan 2 orang meninggal dunia.

III. Patogenesis
Bakteri Bacillus anthracis menginduksi terjadinya respon inflamasi jaringan berupa nekrosis dan pendarahan. Lesi kulit yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis diawali dengan masuknya endospora melalui kulit yang mengalami abrasi, kemudian bakteri mencapai target utamanya di lapisan subkutan. Di tempat ini bakteri berproliferasi dan menyebabkan edema lokal dan nekrosis. Makrofag yang mengenali adanya invasi kemudian memfagositosis endospora. Endospora yang difagosit kemudian berprolierasi di dalam makrofag menjadi bakteri vegetative. Kemudian bakteri ini dibawa makrofag menuju kelenjar limfa regional. Kemudian bakteri vegetatif ini dilepaskan dari makrofag, bermultiplikasi di dalam kelenjar getah bening regional menyebabkan limfadenitis hemoragik regional.
Bakteri dapat menyebar melalui darah dan getah bening dan dalam jumlah besar dapat menyebabkan septikemia berat. Tingginya kadar eksotoksin yang diproduksi dapat menyebabkan kematian. Faktor virulensi utama bakteri Bacillus anthracis adalah binary exotoxins, oedema dan lethal toxins yang dikode oleh dua plasmid yaitu pXO1 dan pXO2. Toksin yang masuk ke dalam menyebabkan efek sistemik bahkan dapat mengakibatkan kematian. Plasmid pXO1 berukur an 184,5 kbp berfungsi dalam mengkode gen yang berperan dalam meningkatkan sekresi eksotoksin. Kompleks gen-toksin terdiri dari gen pengkode antigen protektif, gen pengkode faktor letal, dan gen pengkode faktor edema.
Ketiga komponen eksotoksin bergabung untuk membentuk dua racun biner. Toksin edema merupakan adenilat siklase yang tergantung kalmodulin yang dapat meningkatkan kadar C-AMP intraseluler yang mengandung antigen pelindung sehingga memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel tubuh. Peningkatan konsentrasi C-AMP seluler menyebabkan gangguan homeostasis air dan diyakini bertanggung jawab atas terjadinya edema massif, hal ini terlihat pada anthrax cutaneous. Selain itu, toksin edema juga secara invitro dapat menghambat fungsi netrofil. Faktor lethal merupakan metalloprotease yang secara in vitro dapat menonaktifkan protein kinase.
Toksin lethal dapat menyebabkan kondisi hiperinflamasi pada makrofag, mengaktifkan jalur pemecahan oksidatif dan pelepasan reaktif oksigen intermediet, serta meningkatkan produksi sitokin pro inflamasi, seperti faktor tumor nekrosis ( TNFa) dan interleukin-1b, yang bertanggung jawab terhadap kerusakan dan kematian sel. Bakteri Bacillus anthracis menghasilkan eksotoksin LF (Lethal Factor) dan EF (Edema Factor) disamping menghasilkan Protective Antigen (PA) . Antigen pelindung (PA) dari toksin anthrax mengikat ATR pada permukaan sel host. Bentuk PA yang berukuran 83-kDa dipecah oleh sel protease purin permukaan dan menghasilkan monomer 63-kDa.
Heptamer isasi PA menginduksi pengelompokan ATRs, kemudian ter jadi hubungan kompleks ATRs dengan ikatan lipid, dan domain binding faktor edema (EF) atau faktor letal (LF). Kemudian ter jadi endositosis EF dan LF. EF menyebabkan kenaikan cAMP yang menyebabkan edema sel, sedangkan LF merupakan metalloprotease yang memiliki kofaktor Zn2+ mengalami translokasi ke sitosol melalui pori membran dan menyebabkan nekrosis dan hipoksia pada sel.

IV. Klasifikasi
Inhaled anthrax (antrax inhalasi)
Dimana spora anthrax terhirup dan masuk ke dalam saluran pernapasan. Antraks inhalasi dimulai dengan masuknya spora ke dalam rongga alveolar, kemudian makrofag akan memfagosit spora dan sebagian dari spora akan lisis dan rusak. Spora yang tetap hidup akan menyebar ke kelenjar getah bening dan kelenjar mediastinal. Proses perubahan bentuk vegetative terjadi kurang lebih 60 hari kemudian. Lambatnya proses perubahan bentuk tidak diketahui dengan pasti, akan tetapi terdokumentasi dengan baik di Sverdlovsk bahwa kasus antraks inhalasi terjadi antara hari ke-2 hingga hari ke-43 setelah terpajan.
Sekali proses germinasi terjadi, penyakit akan timbul secara cepat dan replikasi bakteri menyebabkan perdarahan, edema, dan nekrosis. Secara klasik gejala klinis antraks inhalasi bersifat bifasik. Pada fase awal, 1-6 hari setelah masa inkubasi timbul gejala yang tidak khas berupa demam ringan, malaise, batuk non produktif, nyeri dada atau perut, dan biasanya tanpa disertai kelainan fisik, penyakit akan masuk ke dalam fase kedua. Pada fase tersebut secara mendadak timbul demam, sesak napas akut, diaforesis, dan sianosis. Akibat pembesaran kelenjar getah bening, pelebaran mediastinum, dan edema subkutan di dada dan leher yang dapat menimbulkan obstruksi trakea maka stridor dapat terjadi.

Cutaneous anthrax (antrax kulit)
Dimana spora anthrax masuk melalui kulit yang terluka. Proses masukkany spora ke dalam manusia sebagian besar merupakan cutaneous anthrax (95% kasus). Hampir pada 95% kasus antraks yang terjadi di AS merupakan antraks kulit. Penderita biasanya memiliki riwayat kontak dengan binatang atau produknya. Beberapa kasus dilaporkan terjangkit antraks kulit akibat gigitan serangga yang diduga terinfeksi akibat memakan bangkai yang mengandung antraks. Daerah yang terkena terutama muka, ekstremitas, atau leher. Endospora masuk melalui kulit yang lecet atau luka. Satu hingga tujuh hari setelah endospora masuk, terbentuk lesi kulit primer yang tidak nyeri dan papula yang gatal.
Dua puluh empat sampai 36 jam kemudian lesi membentuk vesikel yang berisi cairan jernih atau serosanguineus, dan mengandung banyak kuman Gram positif. Vesikel kemudian mengalami nekrosis sentral, mengering dan menimbulkan eskar (ulkus nekrotik) kehitaman yang khas yang dikelilingi edema dan vesikel keunguan. Edema biasanya terjadi lebih hebat pada kepala atau leher dibandingkan badan atau tungkai. Limfangitis dan limfadenopati yang nyeri dapat ditemukan mengikuti gejala sistemik yang terjadi. Walaupun antraks kulit dapat sembuh sendiri, akan tetapi antibiotik tetap perlu diberikan (dapat mengurangi gejala sistemik yang terjadi). Pada 80-90% kasus lesi sembuh secara sempurna tanpa komplikasi atau jaringan parut.
Edema maligna jarang terjadi, ditandai dengan edema hebat, indurasi, bula multipel, dan syok. Edema maligna dapat terjadi pada leher dan daerah dada yang menyebabkan kesulitan bernapas, sehingga diperlukan kortikosteroid atau intubasi.

Gastrointestinal anthrax
Dimana daging dari hewan yang dikonsumsi tidak dimasak dengan baik sehingga masih megandung spora dan termakan. Gejala biasanya timbul 2-5 hari setelah memakan daging mentah atau kurang matang yang terkontaminasi kuman. Beberapa kasus dapat terjadi di dalam satu rumah. Pada pemeriksaan patologi dengan menggunakan mikroskop dapat ditemukan basil dalam mukosa dan submukosa jaringan limfe dan limfadenitis mesenterika. Ulserasi hampir selalu ditemukan. Pada jaringan di sekitar tempat infeksi ditemukan edema masif dan nekrosis. Sejumlah besar kuman Gram positif dapat ditemukan pada cairan peritoneal.
Pelebaran mediastinum dapat juga terjadi. Gejala klinis berupa demam, nyeri abdomen difus, konstipasi, atau diare. Oleh karena ulserasi yang terjadi maka buang air besar atau muntah menjadi kehitaman atau kemerahan. Dapat terjadi asites yang jernih sampai purulen (bila dilakukan kultur sering ditemukan koloni B. Anthracis). Kematian terjadi akibat perdarahan, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, perforasi, syok, atau toksemia. Bila penderita dapat bertahan hidup maka sebagian besar gejala akan hilang dalam 10-14 hari. Pengendapan dan germinasi spora di orofaring dapat menimbulkan antraks orofaring. Gejala klinis berupa sakit teggorokan yang hebat, demam, disfagia, dan terkadang karena limfadenitis dan edema masif dapat terjadi respiratory distress.



V. Tanda dan Gejala
1. Antraxs inhalasi
• Stadium pertama onset awal (1-4 hari) malaise (kelemahan), lemah, mialgia (nyeri otot), batuk tidak produktif, rasa tertekan di dada, demam.
• Stadium kedua perburukan (24 jam) sesak nafas akut, sianosis, stridor, diaphoresis, demam perdarahan mediastinal, meningismus, septik syok, koma.
2. Antraks kulit
Demam subfebris, sakit kepala, bisul merah kecil yang nyeri. Kemudian lesi tadi membesar, menjadi borok, pecah dan menjadi sebuah luka, kelainan berupa papel, vesikel yang berisi cairan dan jaringan nekrotik berbentuk ulsera yang ditutupi oleh kerak berwarna hitam, kering yang disebut eschar ( pathognomonik ) disekitar ulkus, sering didapatkan eritema dan edema. Pada perabaan edema tersebut tidak lunak dan tidak lekuk ( non pitting ) bila ditekan disebut juga malignant pustule.
3. Antraks gastro intestinal
Mual, pusing, muntah, tidak nafsu makan, suhu badan meningkat, muntah berwarna coklat atau merah, buang air besar berwarna hitam (melena), sakit perut yang sangat hebat (melilit).

VI. Pemeriksaan Penunjang

Kelainan kulit berupa ulkus yang dangkal disertai krusta hitam yang tidak nyeri patut dicurigai suatu antraks kulit. Ditemukannya basil Gram positif pada pemeriksaan cairan vesikel merupakan temuan yang khas pada antraks kulit tetapi diagnosis pasti baru dapat ditegakkan bila biakan kuman positif. Karena mirip penyakit gastrointestinal lainnya maka antraks gastrointestinal sering sulit didiagnosis. Adanya riwayat makan daging yang dicurigai mengandung kuman antraks disertai dengan gejala nause, anoreksia, muntah, demam, nyeri perut, hematemesis, dan diare (biasanya disertai darah) sangat membantu penegakan diagnosis penyakit antraks.
Dari pewarnaan Gram yang dilakukan, bahan diambil dari darah dan atau cairan asites, dapat ditemukan basil antraks. Untuk pemeriksaan biakan, bahan diambil dari apusan faring (antraks faring), darah, dan cairan asites. Diagnosis antraks inhalasi juga sulit ditegakkan. Seseorang yang tiba-tiba mengalami gejala seperti flu yang mengalami perburukan secara cepat dan disertai hasil pemeriksaan foto toraks menunjukkan pelebaran mediastinum, infiltrat, dan atau efusi pleura, sangat patut dicurigai menderita antraks inhalasi (apalagi bila pada penderita tersebut juga ditemukan antraks kulit). Pada pewarnaan Gram bahan diambil dari darah, cairan pleura, cairan serebrospinalis, dan lesi kulit, dapat ditemukan basil antraks.
Untuk pemeriksaan biakan bahan diambil dari darah, cairan pleura, cairan serebrospinalis, dan lesi kulit. Pada pemeriksaan langsung pewarnaan Gram dari lesi kulit, cairan serospinal atau darah yang mengandung kuman antraks akan menunjukkan basil besar, encapsulated, dan Gram positif. Pada kultur darah tampak pertumbuhan pada agar darah domba berupa koloni nonhemolitik, besar, nonmotil, Gram positif, berbentuk spora, dan tidak tumbuh pada agar Mac Conkey. Nilai prediksi pemeriksaan kultur apusan hidung (swab nasal) untuk menentukan antraks inhalasi belum diketahui dan belum pernah diuji.
Oleh karena itu CDC tidak menganjurkan pemeriksaan tersebut sebagai pemeriksaan diagnostik klinis. Tes serologis berguna secara retrospektif dan membutuhkan dua kali pengambilan yaitu pada fase akut dan penyembuhan. Pemeriksaan dengan menggunakan cara ELISA untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen protektif dan antigen kapsul

VII. Penatalaksanaan
Pengobatan
Pemberian antibiotik intravena direkomendasikan pada kasus antraks inhalasi, gastrointestinal dan meningitis. Pemberian antibiotik topikal tidak dianjurkan pada antraks kulit. Antraks kulit dengan gejala sistemik, edema luas, atau lesi di kepala dan leher juga membutuhkan antibiotic intravena. Walaupun sudah ditangani secara dini dan adekuat, prognosis antraks inhalasi, gastrointestinal, dan meningeal tetap buruk. B. anthracis alami resisten terhadap antibiotik yang sering dipergunakan pada penanganan sepsis seperti sefalosporin dengan spektrum yang diperluas tetapi hampir sebagian besar kuman sensitif terhadap penisilin, doksisiklin, siprofloksasin, kloramfenikol, vankomisin, sefazolin, klindamisin, rifampisin, imipenem, aminoglikosida, sefazolin, tetrasiklin, linezolid, dan makrolid. Bagi penderita yang alergi terhadap penisilin maka kloramfenikol, eritromisin, tetrasikilin, atau siprofloksasin dapat diberikan. Pada antraks kulit dan intestinal yang bukan karena bioterorisme, maka pemberian antibiotik harus tetap dilanjutkan hingga paling tidak 14 hari setelah gejala reda. Jenis antibiotik yang dapat digunakan. Oleh karena antraks inhalasi secara cepat dapat memburuk, maka pemberiaan antibiotik sedini mungkin sangat perlu. Keterlambatan pemberian antibiotik sangat mengurangi angka kemungkinan hidup. Oleh karena pemeriksaan mikrobiologis yang cepat masih sulit dilakukan maka setiap orang yang memiliki risiko tinggi terkena antraks harus segera diberikan antibiotik sambil menunggu hasil pemeriksaan laboratorium. Sampai saat ini belum ada studi klinis terkontrol mengenai pengobatan antraks inhalasi. Untuk kasus antraks inhalasi Food and Drug Administration (FDA) menganjurkan penisilin, doksisiklin, dan siprofloksasin sebagai antibiotik pilihan.

















VIII. Pencegahan
1. Profilaksis Setelah Terpajan
Karena antraks berasal dari bioterorisme mungkin dilakukan perubahan strain yang resisten terhadap beberapa antibiotik maka siprofloksasin merupakan obat pilihan utama. Mengingat kemungkinan adanya β-laktamase maka oleh CDC pemberian amoksisilin sebagai profilaksis setelah pajanan hanya dapat diberikan setelah 10-14 hari pemberian fluorokuinolon atau doksisiklin atau bila terdapat kontraindikasi terhadap dua jenis tersebut (misalnya ibu hamil, menyusui, usia < 18 tahun, atau terdapat intoleransi). Mengingat kemungkinan adanya perubahan strain yang resisten terhadap beberapa antibiotik pada bioterorisme maka kelompok kerja pertahanan sipil di AS yang terdiri atas para ahli menganjurkan pemberian siprofloksasin (doksisiklin sebagai alternatif) sebagai salah satu obat dari rejimen kombinasi antibiotik yang diberikan pada ibu hamil penderita antraks inhalasi. Selain itu kelompok kerja tersebut juga menganjurkan pemberian siprofloksasin (doksisiklin sebagai alternatif) pada ibu hamil untuk pengobatan infeksi antraks inhalasi pada kejadian massal atau profilaksis setelah pajanan. Pada ibu hamil, bila doksisiklin yang diberikan, maka pemeriksan fungsi hati secara periodik harus dilakukan. 2. Vaksinasi Di AS pemberian vaksin antraks (anthrax vaccine adsorbed/AVA) terhadap kelompok risiko tinggi terpajan spora sudah rutin dilakukan. Sebanyak 0,5 ml AVA yang disuntikkan secara subkutan diberikan pada minggu ke 0, 2, dan 4, dan bulan ke 6, 12, dan 18, selanjutnya booster dilakukan setiap tahun.1 Para ahli yang terdapat pada kelompok kerja pertahanan sipil di AS mengemukakan bahwa pada penduduk yang terpajan kuman antraks akibat bioterorisme maka pemberian antibiotik selama 60 hari setelah pajanan ditambah dengan vaksinasi akan memberikan proteksi yang optimal 3. Pengendalian Infeksi dan Dekontaminasi Belum pernah ada laporan yang mengatakan adanya transmisi antraks dari manusia ke manusia baik di komunitas maupun di rumah sakit. Oleh karena itu penderita antraks dapat dirawat di ruang rawat biasa dengan tindakan pencegahan yang umum dilakukan. Menghindari kontak terhadap penderita hanya diberlakukan pada penderita antraks kulit dengan lesi yang berair. Pakaian yang terkena cairan lesi kulit atau alat-alat laboratorium yang terkontaminasi sebaiknya dibakar atau dimasukkan ke dalam autoklaf. Dekontaminasi dapat dilakukan dengan memberikan larutan sporosidal yang biasa dipakai di rumah sakit pada tempat yang terkontaminasi. Bahan pemutih atau larutan hipoklorit 0,5% dapat dipergunakan untuk dekontaminasi. Pencegahan Pada manusia • Tidak memakan daging tercemar Anthrax. • Tidak menyembelih hewan yang sakit, atau jatuh karena sakit. • Tidak memanfaatkan atau bersentuhan dengan daging, jerohan, kulit, tanduk tulang, dan rambut atau bagian tubuh lainnya dari hewan/ternak penderita Anthrax. • Mencuci bersih bahan makanan sebelum dimasak. • Memasak daging dan jerohan sampai matang, karena spora dapat dimusnahkan pada suhu 90 derajat C selama 45 menit atau 100 derajat C selama 10 menit. • Mencuci tangan sebelum makan. Pada Hewan Sehat • Semua hewan ternak (sapi, kambing, domba, kerbau, babi, kuda) harus di vaksin secara teratur 2 kali dalam setahun. • Ternak yang sehat, tapi tinggal sekelompok dengan yang sakit diberi suntikan serum atau antibiotik, dan setelah kurang lebih 5 hari baru divaksin. • Kebersihan dan kesehatan kandan selalu di jaga dengan membersihkan kotoran dan memberikan desinfectan. • Hewan ternak diberi pakan yang tidak bercampur dengan tanah • Bagi hewan ternak besar (kerbau dan sapi) jangan terlalu dipaksakan bekerja berat, karena keletihan dan kurang makan dapat mempermudah berjangkitnya wabah anthrax. Pada Hewan Sakit • Dipisahkan dari ternak yang sehat. • Pengobatan dengan serum dan atau kombinasi antibiotik (penicillium, Streptomycin,Oxitetracyclin,Chloramphenicol) atauterapi (Sulametazine,Sulafanilamide, Sulafapyridin danlain-lain). • Melakukan vaksinasi setelah sembuh. IX. Pathway terlampir X. Pengkajian Pada pengkajian dilakukan wawancara dan pemeriksaan fisik untuk memperoleh informasi dan data yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk membuat rencana asuhan keperawatan klien. a. Keadaan Umum Klien mengeluh nyeri kepala dan demam, rasa sakit perut yang hebat b. Tanda-tanda Vital Meliputi pemeriksaan:  Tekanan darah: rendah (<120/80mmHg)  Pulse rate lemah dan cepat (>100 kali/menit)
 Respiratory rate meningkat (>20 kali /menit)
 Suhu meningkat (>37,5OC)
c. Riwayat penyakit sebelumnya
Ditanyakan apakah sebelumnya klien pernah mengalami luka, kontak dengan hewan dengan antrax
d. Pola Fungsi Keperawatan
a. Aktivitas istirahat
Gejala : Kelemahan
b. Sirkulasi
Tanda : Takikardi,
Gejala: berkeringat, sianosis
c. Eliminasi
Gejala : Ketidakmampuan defekasi , Diare
Tanda : distensi abdomen. Penurunan bising usus,peningkatan bising usus
d. Makanan dan cairan
Gejala : disfagia, mual, muntah.
d. Nyeri atau ketidaknyamanan
Gejala : Nyeri abdomen, nyeri otot
Tanda : Distensi
e. Pernapasan
Terdengar stridor, dispnea, batuk dengan sputum purulen, pemeriksaan radiologi tampak pelebaran mediastinum , efusi pleura, , pada pewarnaan gram bahan diambil dari darah,cairan pleura, cairan serebrospinal, dan lesi anthrax ditemukan basil anthrax.
f. Integumen
Terdapat lesi kulit primer yang tidak nyeri dan papula yang gatal, vesikel yang berisi cairan jerni, vesikel mengalami nekrosis sentral menimbul eskar (ulkus nekrotik) kehitaman yang khas dikelilingi edema dan vesikel keunguan.
e. Pemeriksaan Diagnostik
• Pemeriksaan radiologi tampak pelebaran mediastinum , efusi pleura.
• Pemeriksaan cairan vesikel ditemukan bakteri gram positif.
• Pada pewarnaan gram bahan diambil dari darah,cairan pleura, cairan serebrospinal, dan lesi anthrax ditemukan basil anthrax.
• Pemeriksaan ELIZA terdeteksi antibodi terhadap antigen protekstif dan antigen kapsul.

XI. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas ditandai dengan terdengar stridor, dispnea, batuk dengan sputum purulen, pemeriksaan radiologi tampak pelebaran mediastinum , efusi pleura
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru ditandai dengan dispnea, menggunakan otot bantu pernapasan, RR meningkat 28 x /menit
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ditandai dengan klien mengeluh nyeri , dispnea, nadi cepat, klien tampak gelisah
4. Kerusakan menelan berhubungan dengan obstruksi mekanik ( edema orofaring) ditandai dengan klien menunjukkan sulit menelan, mengeluh nyeri ketika menelan
5. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas traktus GI ditandai dengan klien mengatakan sulit BAB, suara usus hipoaktif, adanya darah dalam feses, feses keras
6. Diare berhubungan dengan peningkatan motilitas GI ditandai dengan BAB cair dan leebih dari 3 kali/hari, suara usus hiperaktif dan nyeri perut
7. Kerusakan intergritas jaringan berhubungan dengan iritan toksin bakteri anthrax ditandai dengan terdapat lesi kulit primer yang tidak nyeri dan papula yang gatal, vesikel yang berisi cairan jerni, vesikel mengalami nekrosis sentral menimbul eskar (ulkus nekrotik) kehitaman yang khas dikelilingi edema dan vesikel keunguan
8. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolic ditandai dengan peningkatan suhu tubuh diatas rentang normal (36,5-37,5), RR meningkat 28 x / menit, dan kulit berwarna merah
9. PK Infeksi
10. PK Perdarahan GI

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN MALARIA

I. PENGERTIAN
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah. (Ilmu Penyakit Dalam, 2009)
Malaria adalah penyakit yang menyerang manusia, burung, kera dan primata lainnya, hewan melata dan hewan pengerat, yang disebabkan oleh infeksi protozoa dari genus Plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang. (panas dingin menggigil) serta demam berkepanjangan. (www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=46 )
Penyakit malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium yang termasuk golongan protozoa melalui perantaraan tusukan (gigitan) nyamuk Anopheles spp. (www.depkes.go.id)

II. ETIOLOGI
Penyebab infeksi malaria ialah plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptil, dan mamalia. Termasuk jenis plasmodium dari family plasmodidae. Plasmodium ini pada manusia menginfeksi erotrosit (sel darah merah) dan mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan di eritrosit. Pembiakan seksual terjadi pada tubuh nyamuk anopheles betina. Secara keseluruhan ada lebih dari 100 plasmodium yang menginfeksi binatang (82 pada jenis burung dan reptil dan 22 pada primata.
Parasit Malaria yang Terdapat di Indonesia
Plasmodium malaria yang sering dijumpai ialah plasmodium vivax menyebabkan malaria tertiana (Benign malaria) dan plasmodium falciparum yang menyebabkan malaria tropika (Malignan Malaria). Plasmodium malariae pernah juga dijumpai tetapi sangat jarang. Plasmodium ovale pernah dilaporkan dijumpai di Irian Jaya, pulau Timor, pulau Owi (utara Irian Jaya). (Ilmu Penyakit Dalam, 2009)



III. EPIDEMIOLOGI
Penyakit malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat, karena setiap tahun 500 juta manusia terinfeksi malaria dan lebih dari 1 juta diantaranya meninggal dunia. Kasus terbanyak berada di Afrika namun juga melanda Asia, Amerika Latin, Timur Tengah dan beberapa negara Eropa. Diduga sekitar 36% penduduk dunia terkena risiko malaria. (Depkes, 2008)
Di Indonesia pada tahun 2007 telah terjadi 1.700.000 kasus klinis malaria dengan 700 kematian. Dari 576 kabupaten yang ada, 424 kabupaten diantaranya merupakan daerah endemis malaria dan diperkirakan 45% penduduk Indonesia berisiko tertular. Pengukuran angka kesakitan menggunakan Annual Parasite Incidence (API) dan Annual Malariae Incidence (AMI). Untuk provinsi Kepulauan Riau yang merupakan daerah endemis malaria pada tahun 2007 melaporkan, bahwa dalam upaya pemberantasan malaria dengan API 0.87 per 1000 penduduk, AMI 0.88 per 1000 penduduk.
Tingkat penularan malaria dapat berbeda tergantung pada faktor setempat, seperti pola curah air hujan (nyamuk berkembang biak pada lokasi basah), kedekatan antara lokasi perkembangbiakan nyamuk dengan manusia, dan jenis nyamuk di wilayah tersebut. Beberapa daerah memililki angka kasus yang cenderung tetap sepanjang tahun – Negara tersebut digolongkan sebagai "endemis malaria ". Di daerah lain, ada “musim malaria” yang biasanya berhubungan dengan musim hujan.
Epidemik yang luas dan berbahaya dapat terjadi ketika parasit yang bersumber dari nyamuk masuk ke wilayah di mana masyaratnya memiliki kontak dengan parasit namun memiliki sedikit atau bahkan sama sekali tidak memiliki kekebalan terhadapa malaria. Atau, ketika orang dengan tingkat kekebalan rendah pindah ke wilayah yang memiliki kasus malaria tetap. Epidemik ini dapat dipicu dengan kondisi iklim basah dan banjir, atau perpindahan masyarakat akibat konflik. (www.depkes.go.id)



IV. KLASIFIKASI
Menurut Harijanto (2000) pembagian jenis-jenis malaria berdasarkan
jenis plasmodiumnya antara lain sebagai berikut :

a. Malaria Tropika (Plasmodium Falcifarum)
Malaria tropika/ falciparum malaria tropika merupakan bentuk yang paling berat, ditandai dengan panas yang ireguler, anemia, splenomegali, parasitemia yang banyak dan sering terjadi komplikasi. Masa inkubasi 9-14 hari. Malaria tropika menyerang semua bentuk eritrosit. Disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Plasmodium ini berupa Ring/ cincin kecil yang berdiameter 1/3 diameter eritrosit normal dan merupakan satu-satunya spesies yang memiliki 2 kromatin inti (Double Chromatin). Klasifikasi penyebaran Malaria Tropika: Plasmodium Falcifarum menyerang sel darah merah seumur hidup. Infeksi Plasmodium Falcifarum sering kali menyebabkan sel darah merah yang mengandung parasit menghasilkan banyak tonjolan untuk melekat pada lapisan endotel dinding kapiler dengan akibat obstruksi trombosis dan iskemik lokal. Infeksi ini sering kali lebih berat dari infeksi lainnya dengan angka komplikasi tinggi (Malaria Serebral, gangguan gastrointestinal, Algid Malaria, dan Black Water Fever).

b. Malaria Kwartana (Plasmoduim Malariae)
Plasmodium Malariae mempunyai tropozoit yang serupa dengan Plasmoduim vivax, lebih kecil dan sitoplasmanya lebih kompak/ lebih biru. Tropozoit matur mempunyai granula coklat tua sampai hitam dan kadang-kadang mengumpul sampai membentuk pita. Skizon Plasmodium malariae mempunyai 8-10 merozoit yang tersusun seperti kelopak bunga/rossete. Bentuk gametosit sangat mirip dengan Plasmodium vivax tetapi lebih kecil. Ciri-ciri demam tiga hari sekali setelah puncak 48 jam. Gejala lain nyeri pada kepala dan punggung, mual, pembesaran limpa, dan malaise umum. Komplikasi yang jarang terjadi namun dapat terjadi seperti sindrom nefrotik dan komplikasi terhadap ginjal lainnya. Pada pemeriksaan akan di temukan edema, asites, proteinuria, hipoproteinemia, tanpa uremia dan hipertensi.

c. Malaria Ovale (Plasmodium Ovale)
Malaria Tersiana (Plasmodium Ovale) bentuknya mirip Plasmodium malariae, skizonnya hanya mempunyai 8 merozoit dengan masa pigmen hitam di tengah. Karakteristik yang dapat di pakai untuk identifikasi adalah bentuk eritrosit yang terinfeksi Plasmodium Ovale biasanya oval atau ireguler dan fibriated. Malaria ovale merupakan bentuk yang paling ringan dari semua malaria disebabkan oleh Plasmodium ovale. Masa inkubasi 11-16 hari, walau pun periode laten sampai 4 tahun. Serangan paroksismal 3-4 hari dan jarang terjadi lebih dari 10 kali walau pun tanpa terapi dan terjadi pada malam hari.

d. Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax)
Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax) biasanya menginfeksi eritrosit muda yang diameternya lebih besar dari eritrosit normal. Bentuknya mirip dengan plasmodium Falcifarum, namun seiring dengan maturasi, tropozoit vivax berubah menjadi amoeboid. Terdiri dari 12-24 merozoit ovale dan pigmen kuning tengguli. Gametosit berbentuk oval hampir memenuhi seluruh eritrosit, kromatinin eksentris, pigmen kuning. Gejalamalaria jenis ini secara periodik 48 jam dengan gejala klasik trias malariadan mengakibatkan demam berkala 4 hari sekali dengan puncak demam setiap 72 jam. Dari semua jenis malaria dan jenis plasmodium yang menyerang system tubuh, malaria tropika merupakan malaria yang paling berat ditandai dengan panas yang ireguler, anemia, splenomegali, parasitemis yang banyak, dan sering terjadinya komplikasi.

V. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala yang di temukan pada klien dngan malaria secara umum menurut Mansjoer (1999) antara lain sebagai berikut :

a. Demam
Demam periodik yang berkaitan dengan saat pecahnya skizon matang (sporolasi). Pada Malaria Tertiana (P.Vivax dan P. Ovale), pematangan skizon tiap 48 jam maka periodisitas demamnya setiap hari ke-3, sedangkan Malaria Kuartana (P. Malariae) pematangannya tiap 72 jam dan periodisitas demamnya tiap 4 hari. Tiap serangan di tandai dengan beberapa serangan demam periodik. Gejala umum (gejala klasik) yaitu terjadinya “Trias Malaria” (malaria proxysm) secara berurutan :
1) Periode dingin.
Mulai menggigil, kulit kering dan dingin, penderita sering membungkus diri dengan selimut atau sarung dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-gigi saling terantuk, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode ini berlangsung 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperatur.
2) Periode panas.
Muka merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas tetap tinggi sampai 40oC atau lebih, respirasi meningkat, nyeri kepala, nyeri retroorbital, muntah-muntah, dapat terjadi syok (tekanan darah turun), kesadaran delirium sampai terjadi kejang (anak). Periode ini lebih lama dari fase dingin, dapat sampai 2 jam atau lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat.
3) Periode berkeringat.
Penderita berkeringat mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, sampai basah, temperatur turun, penderita merasa capai dan sering tertidur. Bila penderita bangun akan merasa sehat dan dapat melakukan pekerjaan biasa.

b. Splenomegali
Splenomegali adalah pembesaran limpa yang merupakan gejala khas Malaria Kronik. Limpa mengalami kongesti, menghitam dan menjadi keras karena timbunan pigmen eritrosit parasit dan jaringan ikat bertambah (Corwin , 2000, hal. 571). Pembesaran limpa terjadi pada beberapa infeksi ketika membesar sekitar 3 kali lipat. Lien dapat teraba di bawah arkus costa kiri, lekukan pada batas anterior. Pada batasan anteriornya merupakan gambaran pada palpasi yang membedakan jika lien membesar lebih lanjut. Lien akan terdorong ke bawah ke kanan, mendekat umbilicus dan fossa iliaca dekstra.

c. Anemia
Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab, yang paling berat adalah anemia karena Falcifarum. Anemia di sebabkan oleh penghancuran eritrosit yang berlebihan Eritrosit normal tidak dapat hidup lama (reduced survival time). Gangguan pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam sumsum tulang. (Mansjoer. dkk, Hal. 411)

d. Ikterus
Ikterus adalah diskolorasi kuning pada kulit dan skIera mata akibat kelebihan bilirubin dalam darah. Bilirubin adalah produk penguraian sel darah merah. Terdapat tiga jenis ikterus antara lain :
1) Ikterus hemolitik
Disebabkan oleh lisisnya (penguraian) sel darah merah yang berlebihan. Ikterus ini dapat terjadi pada destruksi sel darah merah yang berlebihan dan hati dapat mengkonjugasikan semua bilirubin yang di hasilkan
2) Ikterus hepatoseluler
Penurunan penyerapan dan konjugasi bilirubin oleh hati terjadi pada disfungsi hepatosit dan di sebut dengan hepatoseluler.
3) Ikterus Obstruktif
Sumbatan terhadap aliran darah ke empedu keluar hati atau melalui duktus biliaris di sebut dengan ikterus obstuktif (Corwin, 2000, hal. 571).



VI. PATOFISIOLOGI
Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh protozoal blood parasite yaitu spesies plasmodium. Plasmoodium yang menimbulkan penyakit pada manusia terdapat 4 spesies. Plasmodium falciparum menyebabkan malaria tropikana, Plasmodium vivax menyebabkan malaria tertiana, Plasmodium ovale menyebabkan malaria ovale, Plasmodium malariae menyebabkan malaria kuartana.Untuk membedakan jenis infeksi dari masing – masing plasmodium dapat dianalisis dari pemeriksaan penunjang yang menunjukkan perbedaan morfologi dari hapusan darah, serta manifestasi klinis baik karakteristik demam, serta manifestasi klinis lainnya yang khas pada setiap plasmodium.
Infeksi plasmodium melibatkan manusia sebagai host dan nyamuk sebagai vektor dan hosr definitif. Siklus hidup plasmodium terdiri dari fase seksual dan aseksual. Fase seksual eksogen (sporogoni) dalam tubuh nyamuk. Fase aseksual (skizogoni) dalam tubuh hospes perantara/manusia ; daur dalam darah (skozogoni eritrosit),daur dalam sel parenkim hati/stadium jaringan (skizogoni ekso-eritrosit).
Vektor malaria adalah Nyamuk Anopheles betina, yang merupakan inang definitif. Dalam lambung nyamuk mikrogametosit dan makrogametosit Plasmodium, masing-masing telah menjadi mikrogamet dan makrogamet yang kemudian kawin (singami): zigot  ookinet oosista (proses sprogoni) dalam dinding lambung nyamuklisis keluar puluhan ribu – ratusan ribu sporozoit yang akan menuju kelenjar liur nyamuk inangnya. Melalui gigitan nyamuk Anopheles, sporozoit masuk aliran darah selama 1/2-1 jam menuju hati untuk berkembang biak. Selanjutnya berpuluh-puluh ribu merozoit masuk ke dalam darah dan masuk ke dalam eritrosit untuk berkembang biak menjadi tropozoit. Skizon eritrosit pecah (disebut sporulasi), sambil membesarkan puluhan merozoit sebagian skizon masuk kembali ke eritrosit baru dan sebagian lagi membentuk mikro dan makro gametosit. Gametosit akan terisap oleh nyamuk Anopheles saat menghisap darah penderita untuk memulai fase sporogoni.(Darmowandowo,2007)
Gigitan nyamuk yang terinfeksi dimulai dari bentuk aseksual yaitu sporozoite ke dalam sirkulasi darah. Sporozoite menuju hepatocytes (sel hati) membentuk schizont (bentuk asexsual). . Schizonts mengalami maturasi dan multiplikasi disebut hepatic schizogony atau preerythrocytic. Pada infeksi P vivax and P ovale , sporozoite berubah menjadi hupnozoite yang merupakan bentuk dorman sehingga dapat menyebabkan penyakit setelah terinfeksi beberapa bulan atau tahun. (WHO,2010)




Preerythrocytic schizogony membutuhkan waktu 6-16 hari dan menghasilkan pecahnya sel dan ledakan invasi ribuan merozoites di darah . Merozoites menuju erythrocytes dan menginisiasi asexual reproductive siklus, kemudian disebut erythrocytic schizogony. Parasite sukses meleawati fase tersebut kemudian menjadi trophozoite dan schizont, dan akhirnya berhsil membentuk merozoites yang lebih poten. Merozoites yang matur menyebabkan rupturnya sel darah merah dan melepaskan merozoite baru multiple antigenic and pyrogenic (substansi yang menyebabkan demam) menuju aliran darah. Sebagian merozoite yang baru akan menginfeksi sel darah merah yang baru, dan sebagian berdiferensiasi membentuk fase seksual : gametosis jantan dan betina yang merupakan bagian dari siklus erythrocytic schizogony. Nyamuk yang menghisap darah pasien dengan gametocymia mendapatkan betuk seksualyang merupakan bagian dari siklus hidup plasmodium. (WHO,2011)


Rupturnya banyak eritrosit bersamaan dengan pelepasan banyak pyrigen yang menyebakan paroxysms dari demam malaria. Periode demam malaria sesuai dengan waktu yang dibutuhkan untuk siklus eritrosit yang mendefinisikan masing-masing jenis plasmodium. P malariae memerlukan 72 jam untuk setiap siklus , disebut quartan malaria. Dan tiga spesies lain memerlukan 48 jam untuk 1 siklus dan menyebabkan alternatife demam di lain hari (tertian malaria). Namun periode ini sesuai dengan perkembangan parasit dan stimulasi pelepasan substansi kimia biila tidak singkron maka periode demam tidak dapat diamati.

Selain melalui gigitan nyamuk , malaria juga dapat ditularkan melalui tranfusi darah dan penularan tranplancental. Parasitemia pada donor kadang tidak menimbulkan manifestasi klini berupa demam. Hal ini disebabkan karena merozoit tidak mengivasi sel hati. Karena tidak terjadi perkembangan dalam hati bila maka pengobatan pada serangan akut merupakan pilihan pengobatan yang lengkap. Selain ini transmisi juga dapat terjadi melalui transplantasi organ. Penularan lain yaitu transplancental dari ibu dengan malaria kepada bayinya di dalam kandungan. Orang yang berisiko tinggi lainnya adalah orang yang bepergian dari daerah endemis, serta pasca bepergian namun tidak lengkap mendapatkan chemoprofilaksis, serta bayi dan orang dengan imunocompromise (WHO,2010)
Beberapa keadaan klinik dalam perjalanan infeksi malaria adalah : serangan primer, periode latent, recrudescense, relapse atau rechute. Periode latent mulai akhir masa inkubasi hingga timbul gejala paroksima trias malaria (dingin, demam, dan berkeringat), Periode latent yaitu masa tanpa keluhan fisik dan tanpa parasitemia.Recrudescense adalah berulangnnya parasitemia setelah 24 minggu berakhirnya serangan primer. Relaps adalah berulangnnya keluhan klinik lama setelah terjadi masa latent biasanya terjadi pada P vivax atau ovale. (Harijanto,2007)

Infeksi P falciparum menyebabkan malaria yang parah. Spesies ini lebih virulen dari yang lain karena menyebabkan parasitemia yang tinggi dan tumpukan virus yang berkontribusi pada kematian sel organ. Faktor parasit yang mempengaruhi P,falcifaraum adalah sitoadherensi (perlekatan eritrosit parasit pada permukaan endotel vaskuler sehingga memiliki variasi antigenik yang sangat besar), sekuetrasi (karena adanya sitoadherensi menyebabkan P.falciparum terperangkap dalam mikrovaskuler dan menghabiskan seluruh siklus hidupnya pada pembuluh darah perifer, otak, hepar,ginjal, paru, jantung, usus, dan kulit yang mememgang peranan patofisiologi malaria berat), Rosetting (berkelompoknya eritrosit parasit matur diselubungi 10 atau lebih eritrosit non parasit; rosetting akan menyebabkan obstruksi dan mempermudah terjadinya sitoadherensi yang lebih besar), sitokin dan NO (Nitrit oksida) yang berlebihan karena respon infeksi.Penyimpanan bagian dari parasite ini merupakan cirri spesifik dari spesies ini. Sesuai dengan perkembangan siklusnya setiap 48 jam bagain kecil dari P falcifarum masih tertingal pada pembulu postcapilary yang kecil . Karena alasan ini hanya pada awal infeksi parasit ini dapat dideteksi pada pembuluh darah perifer dan merupakan waktu penting diagnostik malaria infeks P falcifarum. Sequestrasi dari parasit menyebabkan perubaman status mental hingga koma pada infeksi P falciparum pada anak kejang, konvulsi sering menuju kematian karena infeksi hingga microvaskular pada jaringan otak.Selain itu cytokine dan ivasi parasit dalam jumlah besar menyebabkan kematian sel tertuama pada cental venous system (CNS), paru-paru dan ginjal. Bebberapa penderita infeksi P falciparum meninggalkan sequele seperti (hemiparesis, cerebellar ataxia, aphasia, spasticity)
Manifestasi lainnya dalah hipoglycemia karena glukosa darah banyak diambil alih oleh plasmodium. Anemia berat dapat karena banyaknya sel darah merah yang lisis. Mekanisme lain dari anemia pada malaria adalah dyserythropoiesis, dan hypersplenism sehingga anemia pada malaria cenderung berat dan dapat menyebabkan kematian. Berkurangnya umur sel darah merah yang beredar diikuti dengan penekanan sumsum tulang ditunjukkan dengan trombositopenia mengganggu koagulasi intravaskular sehingga dapat mengarah pada perdarahan sistemik. Anemia kronik pada anak menyebabkan malnutrisi dan terhentinya pertumbuhan.malaria serebral diduga disebabkan adanya obstruksi pembuluh kapiler darah di otak karena sitoadherensi dan sekuetrasi. Kadar laktat dalam CSS cenderung meningkat biasanya disertai dengan gangguan fungsi organ lain ikterik,gagal ginjal, hipoglikemik, dan edema paru. Gagal ginjal akut sering terjadi pada penderita malaria dewasa diduga disebabkan adanya anoksia karena penurunan darah ke ginjal akibat dari obstruksi kapiler. Kecenderungan terjadinya perdarahan karena trombositopenia karena pengaruh sitokin sehingga terjadi gangguan intrakoagulai pada infeksi P falciparum. Edema paru yang disebabkan adanya kelebihan cairan dibuktikan dalam otopsi terdapat edema yang difus, kongesti paru, perdarahan dan pembentukan membran hialin. Manifestasi gastrointestinal yang sering muncul adalah nausea dan muntah , diare, konstipasi, kembung diduga terkait dengan proses infeksi virus. Hiponatremia bersamaan penurunan osmolalitas plasma akibat kehilangan cairan dan garam melalui muntah dan mencret (Harijanto,2007)


VII. WOC (terlampir)
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan Imunoserologis
Diagnosis malaria sebagai mana penyakit pada umumnya didasarkan pada manifestasi klinis (termasuk anamnesis), uji imunoserologis dan ditemukannya parasit (plasmodium) di dalam penderita.
 Pemeriksan Biomolekuler
Prinsip dasar: tes floresensi yaitu adanya protein pada plasmodium yang dapat mengikat acridine orange akan mengidentifikasi eritrosit terinfeksi plasmodium. QBC (Semi Quantitative Buffy Coat) merupakan teknik pemeriksaan dengan menggunakan tabung kapiler dengan diameter tertentu yang dilapisi acridine orange tetapi cara ini tidak dapat membedakan spesies plasmodium dan kurang tepat sebagai instrumen hitung parasit. Pemeriksaan biomolekuler digunakan untuk mendeteksi DNA spesifik parasit/ plasmodium dalam darah penderita malaria.tes ini menggunakan DNA lengkap yaitu dengan melisiskan eritrosit penderita malaria untuk mendapatkan ekstrak DNA.
 Pemeriksaan mikroskopis malaria
Pemeriksaan imunoserologis didesain baik untuk mendeteksi antibody spesifik terhadap paraasit plasmodium maupun antigen spesifik plasmodium atau eritrosit yang terinfeksi plasmodium teknik ini terus dikembangkan terutama menggunakan teknik radioimmunoassay dan enzim immunoassay.
 Pemeriksaan tes darah untuk malaria
Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan adanya parasit malaria sangat penting untuk menegakkan diagnosa. Pemeriksaan satu kali dengan hasil negatif tidak mengenyampingkan diagnosa malaria. Pemeriksaan darah tepi 3 kali dengan hasil negatif maka diagnosa malaria dapat dikesampingkan. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan oleh tenaga yang berpengalaman dalam pemeriksaan parasit malaria. Adapau pemeriksaan darah tepi dapat dilakukan melalui:


 Tetesan preparat darah tebal
Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Sediaan mudah dibuat khususnya untuk studi di lapangan. Ketebalan dalam membuat sediaan perlu untuk memudahkan identifikasi parasit. Pemeriksaan parasit dilakukan selama 5 menit
 Tetesan darah tipis
Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium, bila dengan preparat darah tebal sulit dilakukan. Kepadatan parasit dinyatakan sebagai hitung parasit (parasite count), dapat dilakukan berdasar jumlah eritrosit yang mengandung parasit per 1000 sel darah merah. Bila jumlah parasit >100.000/ul darah menandakan infeksi yang berat. Hitung parasit penting untuk menentukan prognosa penderita malaria, walaopun komplikasi dapat timbul dengan jumlah parasit yang minimal.
 Tes antigen: P-F test
Yaitu mendeteksi antigen P-Falciparum (histidine rich protein II). Deteksi sangat cepat hanya 3-5 menit, tidak memerlukan latihan khusus, sensitivitasnya baik, tidak memerlukan alat khusus.
 Tes serologi
Tes serologi mulai dikembangkan sejak tahun 1962 dengan memakai teknik indirect fluorescent antibody test. Tes ini berguna mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat sebagai alat diganostik sebab antibodi baru terjadi setelah beberapa hari parasitemia. Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji saring donor darah. Titer >1:200 dianggap sebagai infeksi baru; dan test>1:20 dinyatakan positif. Metode-metode tes serologi antara lain indirect hemagglutinin test, immunoprecipitation techniques, ELISA test, radio-immunoassay.
 Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction)
Pemeriksaan ini dianggap paling peka dengan teknologi amplifikasi DNA, waktunya singkat dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi. Keunggulan tes ini walaupun jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil positif.


IX. PENATALAKSANAAN
Obat anti malaria yang tersedia di Indonesia antara lain klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin, kina, primakuin, serta derivate artemisin. Klorokuin merupakan obat antimalaria standar untuk profilaksis, pengobatan malaria klinis dan pengobatan radikal malaria tanpa komplikasi dalam program pemberantasan malaria, sulfadoksin-pirimetamin digunakan untuk pengobatan radikal penderita malaria falciparum tanpa komplikasi. Kina merupakan obat anti malaria pilihan untuk pengobatan radikal malaria falciparum tanpa komplikasi. Selain itu kina juga digunakan untuk pengobatan malaria berat atau malaria dengan komplikasi. Primakuin digunakan sebagai obat antimalaria pelengkap pada malaria klinis, pengobatan radikal dan pengobatan malaria berat. Artemisin digunakan untuk pengobatan malaria tanpa atau dengan komplikasi yang resisten multidrugs.
Beberapa obat antibiotika dapat bersifat sebagai antimalaria. Khusus di Rumah Sakit, obat tersebut dapat digunakan dengan kombinasi obat antimalaria diuji coba sebagai profilaksis dan pengobatan malaria diantaranya adalah derivate tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, sulfametoksazol-trimetoprim dan siprofloksasin. Obat-obat tersebut digunakan bersama obat antimalaria yang bekerja cepat dan menghasilkan efek potensiasi antara lain dengan kina.
a. Pengobatan malaria falciparum
Lini pertama : Arte sunat+Amodiakuin+Primakuin. Dosis artesunat = 4 mg/kgBB (dosis tunggal), amodiakuin = 10 mg/kgBB (dosis tunggal), primakuin = 0,75 mg/kgBB (dosis tunggal). Apabila pemberian dosis tidak memungkinkan berdasarkan berat badan penderita, pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur. Dosis makasimal penderita dewasa yang dapat diberikan untuk artesunat dan amodiakuin masing-masing 4 tablet, 3 tablet untuk primakuin.



Pengobatan Lini Pertama Malaria Falciparum Menurut Kelompok Umur.

Hari
Jenis Obat Jumlah tablet per hari menurut kelompok umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th > 15 th

I Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
Primakuin - - ¾ 1 ½ 2 2-3

II Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4

III Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4

Kombinasi ini digunakan sebagai pilihan utama untuk pengobatan malaria falciparum. Pemakaian artesunat dan amodiakuin bertujuan untuk membunuh parasit stadium aseksual, sedangkan primakuin bertujuan untuk membunuh gametosit yang berada di dalam darah.
Pengobatan lini kedua malaria falciparum diberikan bila pengobatan lini pertama tidak efektif. Lini kedua : Kina+Doksisiklin/Tetrasiklin+Primakuin. Dosis kina = 10 mg/kgBB/kali (3x/hari selama 7 hari), doksisiklin = 4 mg/kgBB/hr (dewasa, 2x/hr se lama 7 hari), 2 mg/kgBB/hr (8-14 th, 2x/hr selama 7 hari), tetrasiklin = 4-5 mg/kgBB/kali (4x/hr selama 7 hari). Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan berat badan penderita, pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur.
Pengobatan Lini Kedua Untuk Malaria falciparum :

Hari
Jenis Obat Jumlah tablet per hari menurut kelompok umur
0-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th > 15 th

I Kina * 3x ½ 3x1 3 x ½ 3x2-3
Doksisiklin - - - 2x1** 2x1***
Primakuin - ¾ 1 ½ 2 2-2

II-VII * 3x ½ 3x1 3x ½ 3x2-3
- - - 2x1** 2x1***
* : Dosis diberikan per kgBB
** : 2x50 mg Doksisiklin
*** : 2x100 mg Doksisiklin

b. Pengobatan malaria vivax dan malaria ovale
Lini pertama : Klorokuin+Primakuin. Kombinasi ini digunakan sebagai pilihan utama untuk pengobatan malaria vivax dan ovale. Pemakaian klorokuin bertujuan membunuh parasit stadium aseksual dan seksual. Pemberian primakuin selain bertujuan untuk membunuh hipnozoit di sel hati, juga dapat membunuh parasit aseksual di eritrosit. Dosis total klorokuin = 25 mg/kgBB (1x/hr selama 3 hari), primakuin = 0,25 mg/kgBB/hr (selama 14 hari). Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan berat badan penderita obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur, sesuai dengan tabel.
Pengobatan Malaria vivax dan Malaria ovale :

Hari
Jenis Obat Jumlah tablet menurut kelompok umur (dosis tunggal)
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th >15 th

I Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1

II Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1

III Klorokuin 1/8 ¼ ½ 1 1 ½ 2
Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
IV-XIV Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1

Pengobatan efektif apabila sampai dengan hari ke 28 setelah pemberian obat, ditemukan keadaan sebagai berikut : klinis sembuh (sejak hari keempat) dan tidak ditemukan parasit stadium aseksual sejak hari ketujuh. Pengobatan tidak efektif apabila dalam 28 hari setelah pemberian obat :
- Gejala klinis memburuk dan parasit aseksual positif, atau
- Gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang atau timbul kembali setelah hari ke-14.
- Gejala klinis membaik tetapi parasit aseksual timbul kembali antara hari ke-15 sampai hari ke-28 (kemungkinan resisten, relaps atau infe ksi baru).

Pengobatan malaria vivax resisten klorokuin
Lini kedua : Kina+Primakuin. Dosis kina = 10 mg/kgBB/ka li (3x/hr selama 7 hari), primakuin = 0,25 mg/kgBB (selama 14 hari). Dosis obat juga dapat ditaksir dengan menggunakan tabel dosis berdasarkan golongan umur sebagai berikut :
Pengobatan Malaria vivax Resisten Klorokuin :

Hari
Jenis Obat Jumlah tablet per hari menurut kelompok umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th >15 th
1-7 Kina * * 3x ½ 3x1 3x2 3x3
1-14 Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
* : Dosis diberikan per kgBB

Pengobatan malaria vivax yang relaps
Sama dengan regimen sebelumnya hanya dosis primakuin yang ditingkatkan. Dosis klorokuin diberikan 1 kali perhari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg/kgBB dan primakuin diberikan selama 14 hari dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari. Dosis obat juga dapat ditaksir dengan menggunakan tabel dosis berdasarkan golongan umur.
Pengobatan malaria vivax yang relaps :

Hari
Jenis Obat Jumlah tablet menurut kelompok golongan umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th >15 th

1 Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
Primakuin - - ½ 1 1 ½ 2

2 Klorokuin ¼ ½ - 2 3 3-4
Primakuin - - ½ 1 1 ½ 2

3 Klorokuin 1/8 ¼ ½ 1 1 ½ 2
Primakuin - - ½ 1 1 ½ 2
14-14 Primakuin - - ½ 1 1 ½ 2


c. Pengobatan malaria malariae
Klorokuin 1 kali perhari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg/kgBB. Klorokuin dapat membunuh parasit bentuk aseksual dan seksual P. malariae. Pengobatan dapat juga diberikan berdasarkan golongan umur penderita.
Pengobatan Malaria Malariae :

Hari
Jenis Obat Jumlah tablet menurut kelompok golongan umur
0-1 bln 2-11 bln 1-4 th 5-9 th 10-14 th >15 th
I Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
II Klorokuin ¼ ½ 1 2 3 3-4
III Klorokuin 1/8 ¼ ½ 1 1 ½ 2

d. Kemopofilaksis
Kemoprofilaksis bertujuan untuk mengurangi resiko terinfeksi malaria sehingga bila terinfeksi maka gejala klinisnya tidak berat. Kemoprofilaksis ini ditujukan kepada orang yang bepergian ke daerah endemis malaria dalam waktu yang tidak terlalu lama, seperti turis, peneliti, pegawai kehutanan dan lain-lain. Untuk kelompok atau individu yang akan bepergian atau tugas dalam jangka waktu yang lama, sebaiknya menggunakan personal protection seperti pemakaian kelambu, kawat kassa, dan lain-lain. Oleh karena P.falciparum merupakan spesies yang virulensinya cukup tinggi maka kemoprofilaksisnya terutama ditujukan pada infeksi spesies ini. Sehubungan dengan laporan tingginya tingkat resistensi P.falciparum terhadap klorokuin, maka doksisiklin menjadi pilihan. Doksisiklin diberikan setiap hari dengan dosis 2 mg/kgBB selama tidak lebih dari 4-6 minggu. Kemoprofilaksis untuk P.vivax dapat diberikan klorokuin dengan dosis 5 mg/kgBB setiap minggu. Obat tersebut diminum 1 minggu sebelum masuk ke daerah endemis sampai 4 minggu setelah kembali.
Dosis Pengobatan Pencegahan Dengan Klorokuin :
Golongan Umur (tahun) Jumlah tablet klorokuin (dosis tunggal, 1x/minggu)
< 1 ¼ 1-4 ½ 5-9 1 10-14 1 ½ > 14 2























X. PROGNOSIS
Uncomplicated malaria yang disebabkan P vivax,P malariae, and P ovale memiliki prognosisyang baik. Kebanyakan pasien puluh dengan sempurna tanpa sequelae. Malaria P falciparum sangat berbahaya bila tidak ditangani dengan cepat dan tuntas karena akan menyebabkan severe malaria dan menuju progonosis yang buruk
Malaria pada anak dibawah 5 tahun memiliki prognosis buruk di daerah endemic. Pada daerah endemic dengan imunitas yang lemah dapat menyebabkan kematian pada umur tersebut, malaria berulang, anemia kronis, malnutrisi, pertumbuhan yang terlambat.

XI. COMPLICATIONS
• Cerebral malaria, disebabkan P falciparum, memiliki mortality rate of 25%, mentmeski dengan treatment terbaik. Kebanyakan kematian disebabkan oleh komplikasi , dan serangan akut pada anak umur 6 bulan-3 tahun dapat diobservasi . Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat dapat meyelamatkan anak dengan malaria. Penderita biasanya meninggalkan sequelae (seperti , hemiparesis, cerebellar ataxia, aphasia, spasticity).P falciparum melakukan sekuetrasi pada mikrovaskular sehingga Seizures dan comabiasa terjadi pada anak dengan malaria. Tanpa cerebral malaria , anak yang mengalami konvulsi berulang dapat menuju kematian.
• Perdarah terjadi pada anak dengan kekebalan tubuh lemah karena parasitemia yang tinggi menyebabkan gangguan intrakoagulasi.
• hemolisis pada tingkat tertentu dapat menyebabkan gagal ginjal terkait glucose-6-phosphatase dehydrogenase (G-6-PD) deficiency or an antibody-mediated yang menyebabkan destruksi eritrosit..
• Anemia terjadi karena ada mekanisme dyserythropoiesis, hypersplenism, erythrocyte survival memendek , bone marrow suppressn. Malarial anemia bisa sangat parah dan menyebabkan kematian.
• Parsite malaria memakan glukosa. Parasitemia yang berat menyeababkan hypoglycemia, serta berasosiasi dengan quinine and quinidine therapy. Hypoglycemia susah dibedakan dengan cerebral malaria
• Blackwater fever adalah kondisi hemolysis gagal ginjal akut. Jarang dapat diamati sekarang lebih diakibatkan karena profilaksis terapi dengan menggunakan quinine.
Komplikasi lainnya adalah :
• Pulmonary edema
• Hyperpyrexia
• Circulatory collapse (algid malaria)
• Jaundice

XII. PENCEGAHAN
Metode yang digunakan untuk mencegah penyebaran penyakit, atau untuk melindungi individu-individu di daerah di mana malaria endemik, termasuk obat-obatan profilaksis, pemberantasan nyamuk, dan pencegahan gigitan nyamuk.
1. Pengendalian vektor
Upaya untuk membasmi malaria dengan menghilangkan nyamuk telah berhasil di beberapa daerah. Malaria pernah umum di Amerika Serikat dan Eropa selatan, tetapi program pengendalian vektor, dalam hubungannya dengan pemantauan dan pengobatan pada manusia yang terjangkit, dieliminasi dari daerah-daerah.
Teknik serangga steril yang muncul sebagai metode pengendalian nyamuk potensial. Kemajuan menuju transgenik, atau rekayasa genetika, serangga menunjukkan bahwa populasi nyamuk liar bisa dibuat malaria resisten. Para peneliti di Imperial College London menciptakan malaria pertama di dunia nyamuk transgenik, dengan plasmodium tahan spesies pertama diumumkan oleh tim di Case Western Reserve University di Ohio pada tahun 2002. Penggantian berhasil populasi saat ini dengan populasi rekayasa genetika baru, bergantung pada mekanisme drive, seperti elemen transposabel untuk memungkinkan non-Mendel warisan dari gen yang diinginkan. Namun, pendekatan ini mengandung banyak kesulitan dan keberhasilan adalah prospek yang jauh. Sebuah metode bahkan lebih futuristik pengendalian vektor adalah gagasan bahwa laser dapat digunakan untuk membunuh nyamuk terbang.

2. Profilaksis obat
Beberapa obat, yang sebagian besar juga digunakan untuk pengobatan malaria, dapat diambil preventif. Umumnya, obat ini diminum setiap hari atau mingguan, pada dosis yang lebih rendah daripada yang digunakan untuk pengobatan orang yang benar-benar tertular penyakit itu. Obat modern yang digunakan preventif meliputi mefloquine (''Lariam''), doxycycline (tersedia umum), dan kombinasi atovakuon dan hidroklorida proguanil (''Malarone''). Pilihan obat yang akan digunakan tergantung pada obat parasit di daerah tersebut resisten terhadap, serta efek samping dan pertimbangan lainnya. Efek profilaksis tidak memulai segera setelah mulai meminum obat, sehingga orang sementara mengunjungi daerah endemis malaria biasanya mulai mengambil obat satu sampai dua minggu sebelum tiba dan harus terus membawa mereka selama 4 minggu setelah meninggalkan (dengan pengecualian proguanil atovakuon yang hanya perlu dijalankan 2 hari sebelum dan dilanjutkan selama 7 hari setelahnya). Penggunaan obat profilaksis mana nyamuk pembawa malaria yang hadir dapat mendorong perkembangan imunitas parsial.
3. Indoor sisa penyemprotan
Penyemprotan residu dalam ruangan (IRS) adalah praktek penyemprotan insektisida pada dinding interior rumah di daerah yang terkena malaria. Setelah makan, istirahat banyak spesies nyamuk pada permukaan yang terdekat sementara mencerna bloodmeal, jadi jika dinding tempat tinggal telah dilapisi dengan insektisida, nyamuk istirahat akan dibunuh sebelum mereka dapat menggigit korban lain, mentransfer parasit malaria.
Satu masalah dengan semua bentuk Penyemprotan Indoor Residual insektisida resistensi melalui evolusi nyamuk. Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan pada Perilaku Nyamuk dan Pengendalian Vector, spesies nyamuk yang dipengaruhi oleh IRS adalah spesies endophilic (spesies yang cenderung untuk beristirahat dan tinggal dalam ruangan), dan karena iritasi yang disebabkan oleh penyemprotan, keturunan evolusi mereka untuk menjadi tren exophilic (spesies yang cenderung untuk beristirahat dan hidup di luar pintu), yang berarti bahwa mereka tidak terpengaruh-jika terpengaruh sama sekali-oleh IRS, rendering itu agak tidak berguna sebagai mekanisme pertahanan.
4. Kelambu dan seprai
Kelambu membantu menjaga nyamuk menjauh dari orang-orang dan sangat mengurangi infeksi dan penularan malaria. Jaring bukan penghalang sempurna dan mereka sering diperlakukan dengan insektisida untuk membunuh nyamuk yang dirancang sebelum memiliki waktu untuk mencari cara melewati net. Jaring insektisida (ITN) diperkirakan akan dua kali lebih efektif sebagai jaring tidak diobati,. Meskipun ITN terbukti sangat efektif terhadap malaria, kurang dari 2% dari anak-anak di daerah perkotaan di Sub-Sahara Afrika yang dilindungi oleh ITN. Sejak feed Anopheles''''nyamuk di malam hari, metode yang disukai adalah untuk menggantung "kelambu" besar di atas pusat tempat tidur sedemikian rupa sehingga tirai turun dan meliputi tempat tidur sepenuhnya.

Distribusi kelambu diresapi dengan insektisida seperti permetrin atau deltametrin telah terbukti menjadi metode yang sangat efektif pencegahan malaria, dan juga salah satu metode yang paling efektif-biaya pencegahan. Jaring ini sering dapat diperoleh untuk sekitar $ 2,50-$ 3,50 (2-3 euro) dari PBB, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan lain-lain. ITN telah terbukti menjadi metode pencegahan paling efektif-biaya terhadap malaria dan merupakan bagian dari WHO Millenium Development Goals (MDGs).
Untuk efektivitas maksimum, jaring harus kembali diresapi dengan insektisida setiap enam bulan. Proses ini menimbulkan masalah logistik yang signifikan di daerah pedesaan. Teknologi baru seperti Olyset atau DawaPlus memungkinkan produksi tahan lama kelambu insektisida (LLINs), yang melepaskan insektisida sekitar 5 tahun, dan biaya sekitar US $ 5,50. ITN melindungi orang-orang tidur di bawah jaring dan sekaligus membunuh nyamuk bahwa kontak net. Perlindungan juga diberikan kepada orang lain dengan metode ini, termasuk orang-orang tidur di ruangan yang sama tetapi tidak berada di bawah net.


5. Vaksinasi
Imunitas (atau, lebih tepat, toleransi) tidak terjadi secara alami, tetapi hanya sebagai respons terhadap infeksi berulang dengan beberapa strain malaria.
Saat ini, ada berbagai macam kandidat vaksin di atas meja. Pra-erythrocytic vaksin (vaksin yang menargetkan parasit sebelum mencapai darah), dalam vaksin tertentu berdasarkan CSP, membentuk kelompok terbesar penelitian untuk vaksin malaria. Kandidat vaksin lainnya termasuk: orang-orang yang berusaha untuk membujuk kekebalan terhadap darah tahap infeksi, orang-orang yang berusaha untuk menghindari patologi yang lebih parah dari malaria dengan mencegah kepatuhan dari parasit ke venula darah dan plasenta, dan transmisi-blocking vaksin yang akan menghentikan perkembangan parasit di kanan nyamuk setelah nyamuk telah mengambil bloodmeal dari orang yang terinfeksi. Diharapkan bahwa pengetahuan dari P.'' falciparum''genom, urutan yang selesai pada tahun 2002, akan memberikan target untuk obat baru atau vaksin.












ASUHAN KEPERAWATAN

I. PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, alamat, pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin dan penanggung jawab.
2. Tanda-tanda vital
Suhu tubuh : Meningkat (di atas 37,5o C)
Tekanan darah : Tekanan darah normal atau sedikit menurun
Nadi : Denyut perifer kuat dan cepat (fase demam)
Respirasi : Tackipnea, Napas pendek
3. Pola Fungsi keperawatan
a. Aktivitas/ istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan, malaise umum
Tanda : Takikardi, Kelemahan otot dan penurunan kekuatan.
b. Sirkulasi
Tanda : Tekanan darah normal atau sedikit menurun. Denyut perifer kuat dan cepat (fase demam) Kulit hangat, diuresis (diaphoresis ) karena vasodilatasi. Pucat dan lembab (vaso kontriksi), hipovolemia, penurunan aliran darah. Konjungtiva anemis dan capillary refill >2 detik.
c. Eliminasi
Gejela : Diare atau konstipasi; penurunan haluaran urine
Tanda : Distensi abdomen
d. Makanan dan cairan
Gejala : Anoreksia mual dan muntah
Tanda : Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan, dan Penurunan masa otot. Penurunan haluaran urine, kosentrasi urine .
e. Neuro sensori
Gejala : Sakit kepala, pusing dan pingsan.
Tanda : Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientas deliriu atau koma.


f. Pernapasan
Tanda : Tackipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan .
Gejala : Napas pendek pada istirahat dan aktivitas
g. Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala : Masalah kesehatan kronis, misalnya hati, ginjal, keracunan alkohol, riwayat splenektomi, baru saja menjalani operasi/prosedur invasif, luka traumatik.

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan malaria sesuai dengan tingkat keparahan klinis dan prioritas :
Uncomplicated malaria
1. Hipertermi berhubungan dengan penyakit ditandai dengan suhu tubuh klien > 37,5 derajat celcius, aklral teraba hangat.
2. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan haluaran cairan aktif (muntah, berkeringan, demam)
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ditandai dengan klien mengeluh nyeri pada kepala , dan nyeri pada badan, klien tampak meringis.
4. Hipotermi berhubungan dengan penyakit ditandai dengan klien tampak menggigil, suhu tubung dibawah 36,5 derajat celcius, klien tampak berkeringat.
5. Resiko ketidakseimbangan suhu tubuh berhubungan dengan penyakit
6. Nausea berhubungan dengan toksin (infeksi plasmodium di daerah saraf yang mempengaruhi pusat muntah) ditandai dengan klien mengeluh mual, anoreksia.
7. Kelelahan berhubungan dengan ketidakseimbangan energi ditandai dengan klien tampak lelah , klien tampak mengantuk.
8. Resiko infeksi berhubungan dengan peningkatan pajanan pada lingkungan
9. PK Infeksi



Severe Malaria
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas (sekret) ditandai dengan dispnea, takipnea.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan takipnea, penggunaan otot bantu pernapasan
3. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveoli ditandai dengan AGD abnormal (asidosis metabolik), dispnea
4. Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan aliran arteri terhambat ditandai dengan klien mengeluh pusing, convulsi, kejang.
5. Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan kerusakan transportasi oksigen melewati membran kapiler dan alveolar ditandai dengan akral teraba dingin, kulit tampak pucat.
6. Retensi urin berhubungan dengan hambatan ditandai dengan Klien mengeluh berkemih sedikit ,disuria, anuria
7. Resiko cedera
8. PK Asidosis metabolik
9. PK perdarahan
10. PK hipoglikemia
11. PK anemia

ASUHAN KEPERAWATAN FLU BURUNG

I. DEFINISI DAN ETIOLOGI
Penyakit flu burung atau flu unggas (Bird Flu, Avian influenza) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dan ditularkan oleh unggas. Penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus avian infuenza jenis H5N1. Flu Burung merupakan penyakit yang berbahaya karena dapat membunuh seluruh ternak unggas di areal usaha peternakan. Flu Burung merupakan penyakit yang berbahaya karena dapat menyebar dengan cepat ke areal peternakan lain dan di seluruh tanah air. Flu Burung berbahaya karena banyak jenis Flu Burung dapat menyebabkan manusia sakit dan meninggal. (FAO, Buku Petunjuk bagi Paramedik Veteriner).
Penyebab flu burung adalah virus influenza tipe A. Virus influenza termasuk famili Orthomyxoviridae. Virus influenza tipe A dapat berubah-ubah bentuk (Drift, Shift), dan dapat menyebabkan epidemi dan pandemi. Virus influenza tipe A terdiri dari Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N), kedua huruf ini digunakan sebagai identifikasi kode subtipe flu burung yang banyak jenisnya. Pada manusia hanya terdapat jenis H1N1, H2N2, H3N3, H5N1, H9N2, H1N2, H7N7. Sedangkan pada binatang H1-H5 dan N1-N9. Strain yang sangat virulen/ganas dan menyebabkan flu burung adalah dari subtipe A H5N1. Virus tersebut dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 220 C dan lebih dari 30 hari pada 00 C. Virus akan mati pada pemanasan 600 C selama 30 menit atau 560 C selama 3 jam dan dengan detergent, desinfektan misalnya formalin, serta cairan yang mengandung iodine.
II. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia pada bulan Januari 2004 di laporkan adanya kasus kematian ayam ternak yang luar biasa (terutama di Bali, Botabek, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Barat dan Jawa Barat). Awalnya kematian tersebut disebabkan oleh karena virus new castle, namun konfirmasi terakhir oleh Departemen Pertanian disebabkan oleh virus flu burung (Avian influenza (AI)). Jumlah unggas yang mati akibat wabah penyakit flu burung di 10 propinsi di Indonesia sangat besar yaitu 3.842.275 ekor (4,77%) dan yang paling tinggi jumlah kematiannya adalah propinsi Jawa Barat (1.541.427 ekor). Berdasarkan data KEMENKES RI, jumlah kasus Flu Burung di Indonesia sejak tahun 2005 sampai dengan Juni 2010 adalah 166 kasus dengan 137 kematian.


III. PATOFISIOLOGI
Virus influenza merupakan virus RNA termasuk dalam famili Orthomyxoviridae. Asam nukleat virus ini beruntai tunggal, terdiri dari 8 segmen gen yang mengkode sekitar 11 jenis protein. Virus influenza mempunyai selubung/simpai yang terdiri dari kompleks protein dan karbohidrat. Virus ini mempunyai tonjolan (spikes) yang digunakan untuk menempel pada reseptor yang spesifik pada sel-sel hospesnya pada saat menginfeksi sel. Terdapat 2 jenis spikes yaitu yang mengandung hemaglutinin (HA) dan yang mengandung neuraminidase (NA), yang terletak dibagian terluar dari virion. Virus influenza mempunyai 4 jenis antigen yang terdiri dari (i) protein nukleokapsid (NP) (ii). Hemaglutinin (HA), (iii). Neuraminidase (NA), dan protein matriks (MP).
Berdasarkan jenis antigen NP dan MP, virus influenza digolongkan dalam virus influenza A, B, dan C. Virus Influenza A sangat penting dalam bidang kesehatan karena sangat patogen baik bagi manusia, dan binatang, yang menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi, di seluruh dunia. Virus influenza A ini dapat menyebabkan pandemi karena mudahnya mereka bermutasi, baik berupa antigenic drift ataupun antigenic shift sehingga membentuk varian-varian baru yang lebih patotegen. Di dalam virus influenza tipe A dapat terjadi perubahan besar pada komposisi antigeniknya yang disebut antigenic shift atau terjadi perubahan kecil komposisi antigenik yang disebut antigenic drift. Perubahan – perubahan inilah yang bisa menyebabkan epidemi atau bahkan pandemi. ). Virus influenza B adalah jenis virus yang hanya menyerang manusia, sedangkan virus influenza C, jarang ditemukan walaupun dapat menyebabkan infeksi pada manusia dan binatang. Jenis virus influenza B dan C jarang sekali atau tidak menyebabkan wabah pandemis. Terdapat 15 jenis subtipe HA dan 9 jenis subtipe NA. Dari berbagai penelitan seroprevalensi secara epidemiologis menunjukkan bahwa beberapa subtipe virus influenza A telah menyebabkan wabah pandemi antara lain H7N7 (1977), H3N2 (1968), H2N2 (1957), H1N1 (1918), H3N8 (1900), dan H2N2 (1889). Infeksi virus H5N1 dimulai ketika virus memasuki sel hospes setelah terjadi penempelan spikes virion dengan reseptor spesifik yang ada di permukaan sel hospesnya. Virion akan menyusup ke sitoplasma sel dan akan mengintegrasikan materi genetiknya di dalam inti sel hospesnya, dan dengan menggunakan mesin genetik dari sel hospesnya, virus dapat bereplikasi membentuk virion-virion baru, dan virion-virion ini dapat menginfeksi kembali sel-sel disekitarnya. Dari beberapa hasil pemeriksaan terhadap spesimen klinik yang diambil dari penderita ternyata avian influenza H5N1 dapat bereplikasi di dalam sel nasofaring dan di dalam sel gastrointestinal .Virus H5N1 juga dapat dideteksi di dalam darah, cairan serebrospinal, dan tinja pasien (WHO,2005). Fase penempelan (attachment) adalah fase yang paling menentukan apakah virus bisa masuk atau tidak ke dalam sel hospesnya untuk melanjutkan replikasinya. Virus influenza A melalui spikes hemaglutinin (HA) akan berikatan dengan reseptor yang mengandung sialic acid (SA) yang ada pada permukaan sel hospesnya.
Ada perbedaan penting antara molekul reseptor yang ada pada manusia dengan reseptor yang ada pada unggas atau binatang. Pada virus flu burung, mereka dapat mengenali dan terikat pada reseptor yang hanya terdapat pada jenis unggas yang terdiri dari oligosakharida yang mengandung N-acethylneuraminic acid -2,3-galactose (SA -2,3- Gal), dimana molekul ini berbeda dengan reseptor yang ada pada manusia. Reseptor yang ada pada permukaan sel manusia adalah SA - 2,6-galactose (SA -2,6-Gal), sehingga secara teoritis virus flu burung tidak bisa menginfeksi manusia karena perbedaan reseptor spesifiknya. Namun demikian, dengan perubahan hanya 1 asam amino saja konfigurasi reseptor tersebut dapat dirubah sehingga reseptor pada manusia dikenali oleh HPAI-H5N1. Potensi virus H5N1 untuk melakukan mutasi inilah yang dikhawatirkan sehingga virus dapat membuat varian-varian baru dari HPAI-H5N1 yang dapat menular antar manusia ke manusia .
Flu burung dapat menular melalui udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari kotoran unggas yang sakit. Penularan juga bisa terjadi melalui air minum dan pasokan makanan yang telah terkontaminasi oleh kotoran yang terinfeksi flu burung. Di peternakan unggas, penularan dapat terjadi secara mekanis melalui peralatan, kandang, pakaian ataupun sepatu yang telah terpapar pada virus flu burung (H5N1) juga pekerja peternakan itu sendiri. Jalur penularan antar unggas di peternakan, secara berurutan dari yang kurang berisiko sampai yang paling berisiko adalah melalui pergerakan unggas yang terinfeksi ,kontak langsung selama perjalanan unggas ke tempat pemotongan ,lingkungan sekitar (tetangga) dalam radius 1 km, kereta/lori yang ,digunakan untuk mengangkut makanan, minuman unggas dan lain-lain ,kontak tidak langsung saat pertukaran pekerja dan alat-alat . Penularan virus flu burung dari unggas ke manusia dapat terjadi ketika manusia kontak dengan kotoran unggas yang terinfeksi flu burung, atau dengan permukaan atau benda-benda yang terkontaminasi oleh kotoran unggas sakit yang mengandung virus H5N1. Orang yang berisiko tinggi tertular flu burung adalah pekerja di peternakan ayam ,pemotong ayam ,orang yang kontak dengan unggas hidup yang sakit atau terinfeksi flu burung orang yang menyentuh produk unggas yang terinfeksi flu burung ,populasi dalam radius 1 km dari lokasi terjadinya kematian unggas akibat flu burung. Pada dasarnya sampai saat ini, H5N1 tidak mudah untuk menginfeksi manusia dan apabila seseorang terinfeksi, akan sulit virus itu menulari orang lain. Pada kenyataannya, penularan manusia ke manusia, terbatas, tidak efisien dan tidak berkelanjutan. (Radji, 2006)
Penyakit dimulai dari infeksi virus pada sel epitel saluran napas. Virus ini kemudian bereplikasi sangat cepat hingga menyebabkan lisis sel epitel & terjadi deskuamasi lapisan epitel saluran napas.Pada tahap infeksi awal, respons imun innate akan menghambat replikasi virus. Apabila kemudian terjadi re-eksposure, respons imun adaptif yang bersifat antigen spesific mengembangkan memori imunologis yang akan memberikan respons yang lebih cepat. Replikasi virus akan merangsang pembentukan proinflammatory cytokine termasuk IL-1, IL-6 dan TNF-Alfa yang kemudian masuk ke sirkulasi sistemik & pada gilirannya menyebabkan gejala sistemik seperti demam, malaise, myalgia dll. Pada umumnya influenza merupakan penyakit yang self limiting & virus terbatas pada saluran napas. Pada keadaan tertentu seperti kondisi sistem imun yang menurun virus dapat lolos masuk sirkulasi darah & ke organ tubuh lain. Bila strain/subtipe virus baru yang menginfeksi maka situasi akan berbeda.Imunitas terhadap virus subtipe baru yang sama sekali belum terbentuk dapat menyebabkan keadaan klinis yang lebih berat. Sistem imunitas belum memiliki immunological memory terhadap virus baru. Apalagi bila virus subtipe baru ini memiliki tingkat virulensi atau patogenisitas yang sangat tinggi seperti virus H5N1. Tipe virus yang berbeda akan menyebabkan respons imun & gejala klinis yang mungkin berbeda. Diketahui bahwa pada infeksi oleh virus influenza A H5N1 terjadi pembentukan sitokin yang berlebihan (cytokine storm) untuk menekan replikasi virus, tetapi justru hal ini yang menyebabkan kerusakan jaringan paru yang luas & berat. Terjadi pneumonia virus berupa pneumonitis intertitial. Proses berlanjut dengan terjadinya eksudasi & edema intraalveolar, mobilisasi sel sel radang dan juga eritrosit dari kapiler sekitar, pembentukan membran hyalin dan juga fibroblast. Sel radang akan memproduksi banyak sel mediator peradangan. Secara klinis keadaan ini dikenal dengan ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome). Difusi oksigen terganggu, terjadi hipoksia/anoksia yang dapat merusak organ lain. Proses ini biasanya terjadi secara cepat & penderita dapat meninggal dalam waktu singkat karena proses yang ireversibel.(Emedicine,2009)



IV. KLASIFIKASI
Penderita Konfirm H5N1 dapat dibagi dalam 4 kategori sesuai beratnya penyakit (MOPH Thailand, 2005)
Derajat I : Penderita tanpa Pneumonia
Derajat II : Penderita dengan Pneumonia Derajat Sedang dan tanpa Gagal Nafas
Derajat III : Penderita dengan Pneumonia Berat dan dengan Gagal Nafas
Derajat IV : Pasien dengan Pneumonia Berat dan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) atau dengan Multiple Organ Failure (MOF)

V. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala
A. Gejala pada unggas.
- Jengger berwarna biru
- Borok dikaki
- Kematian mendadak
B. Gejala pada manusia.
- Demam (suhu badan diatas 38o C)
- Batuk dan nyeri tenggorokan
- Radang saluran pernapasan atas
- Pneumonia
- Infeksi mata
- Nyeri otot
manifestasi klinis avian influenza pada manusia terutama terjadi di system respiratorik mulai dari yang ringan sampai yang berat. Manifestasi klinis avian influenza secara umum sam dengan gejala ILI (influenza like illness), yaitu batuk, pilek, dan demam. Gejala lain berupa sefalgia, nyeri tenggorokan, mialgia, dan malaise.
Adapun keluhan gastrointestinal berupa diare dan keluhan lain berupa konjungtivitis. Spektrum klinis bisa sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik, flu ringan hingga berat, pneumonia, dan banyak yang berakhir dengan ARDS (acute respiratory distress syndrome). kelainan laboratorium hematologi yang hampir selalu dijumpai adalah lekopenia, limfopenia dan trombositopenia. Kelainan foto thoraks bisa berupa infiltrate bilateral luas infiltrate difus, multilokal atau tersebar (Pathcy) atau terdapat kolaps lobar.

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium
Setiap pasien yang datang dengan gejala klinis seperti di atas dianjurkan untuk sesegera mungkin dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan darah rutin (Hb, Leukosit, Trombosit, Hitung Jenis Leukosit), spesimen serum, aspirasi nasofaringeal.
Diagnosis flu burung dibuktikan dengan :
• Uji RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction) untuk H5.
• Biakan dan identifikasi virus Influenza A subtipe H5N1.
• Uji Serologi :
1. Peningkatan >4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1 dari spesimen konvalesen dibandingkan dengan spesimen akut ( diambil <7 hari setelah awitan gejala penyakit), dan titer antibodi netralisasi konvalesen harus pula >1/80.
2. Titer antibodi mikronetralisasi H5N1 >1/80 pada spesimen serum yang diambil pada hari ke >14 setelah awitan (onset penyakit) disertai hasil positif uji serologi lain, misalnya titer HI sel darah merah kuda >1/160 atau western blot spesifik H5 positif.
3. Uji penapisan
• Rapid test untuk mendeteksi Influensa A.
• ELISA untuk mendeteksi H5N1.
2. Pemeriksaan Hematologi
Hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit, limfosit total. Umumnya ditemukan leukopeni, limfositopeni dan trombositopeni.
3. Pemeriksaan Kimia darah
Albumin, Globulin, SGOT, SGPT, Ureum, Kreatinin, Kreatin Kinase, Analisis Gas Darah. Umumnya dijumpai penurunan albumin, peningkatan SGOT dan SGPT, peningkatan ureum dan kreatinin, peningkatan Kreatin Kinase, Analisis Gas Darah dapat normal atau abnormal. Kelainan laboratorium sesuai dengan perjalanan penyakit dan komplikasi yang ditemukan.

4. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan foto toraks PA dan Lateral harus dilakukan pada setiap tersangka flu burung. Gambaran infiltrat di paru menunjukkan bahwa kasus ini adalah pneumonia. Pemeriksaan lain yang dianjurkan adalah pemeriksaan CT Scan untuk kasus dengan gejala klinik flu burung tetapi hasil foto toraks normal sebagai langkah diagnostik dini.
5. Pemeriksaan Post Mortem
Pada pasien yang meninggal sebelum diagnosis flu burung tertegakkan, dianjurkan untuk mengambil sediaan postmortem dengan jalan biopsi pada mayat (necropsi), specimen dikirim untuk pemeriksaan patologi anatomi dan PCR.

VII. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan avian influenza adalah istirahat, peningkataan daya tahan tubuh, pengobatan antiviral, pengobatan antibiotic, perawatan respirasi, anti inflamasi, imunomodulators.
Untuk penatalaksanaan umum dapat dilakukan pelayanan di fasilitas kesehatan non rujukan dan di rumah sakit rujukan flu burung.
1. Untuk pelayanan di fasilitas kesehatan non rujukan flu burung diantaranya adalah :
• Pasien suspek flu burung langsung diberikan Oseltamivir 2 x 75 mg (jika anak, sesuai dengan berat badan) lalu dirujuk ke RS rujukan flu burung.
• Untuk puskesmas yang terpencil pasien diberi pengobatan oseltamivir sesuai skoring di bawah ini, sementara pada puskesmas yang tidak terpencil pasien langsung dirujuk ke RS rujukan. Kriteria pemberian oseltamivir dengan sistem skoring, dimodifikasi dari hasil pertemuan workshop “Case Management” & pengembangan laboratorium regional Avian Influenza, Bandung 20 – 23 April 2006

Skor
Gejala 1 2
Demam < 380C > 380C
RR N > N
Ronki Tidak ada Ada
Leukopenia Tidak ada Ada
Kontak Tidak ada Ada
Jumlah

Skor :
6 – 7 = evaluasi ketat, apabila meningkat (>7) diberikan oseltamivir
> 7 = diberi oseltamivir.

Batasan Frekuensi Napas :
< 2bl = > 60x/menit
2bl - <12 bl = > 50x/menit
>1 th - <5 th = > 40x/menit
5 th - 12 th = > 30x/menit
>13 = > 20x/menit

Pada fasilitas yang tidak ada pemeriksaan leukosit maka pasien dianggap sebagai leukopeni (skor = 2)

2. Pelayanan di Rumah Sakit Rujukan
Pasien Suspek H5N1, probabel, dan konfirmasi dirawat di ruang isolasi.
• Petugas triase memakai APD, kemudian segera mengirim pasien ke ruang pemeriksaan.
• Petugas yang masuk ke ruang pemeriksaan tetap mengunakan APD dan melakukan kewaspadaan standar.
• Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik.
• Setelah pemeriksaan awal, pemeriksaan rutin (hematologi dan kimia) diulang setiap hari sedangkan HI diulang pada hari kelima dan pada waktu pasien pulang.
• Pemeriksaan PCR dilakukan pada hari pertama, kedua, dan ketiga perawatan.
• Pemeriksaan serologi dilakukan pada hari pertama dan diulang setiap lima hari.
• Penatalaksanaan di ruang rawat inap
Klinis
1. Perhatikan :
- Keadaan umum
- Kesadaran
- Tanda vital (tekanan darah, nadi, frekuensi napas, suhu).
- Bila fasilitas tersedia, pantau saturasi oksigen dengan alat pulse oxymetry.
2. Terapi suportif : terapi oksigen, terapi cairan, dll.

Mengenai antiviral maka antiviral sebaiknya diberikan pada awal infeksi yakni pada 48 jam pertama. Adapun pilihan obat :
1. Penghambat M2 : a. Amantadin (symadine), b. Rimantidin (flu madine). Dengan dosis 2x/hari 100 mg atau 5 mg/kgBB selama 3-5 hari.
2. Penghambatan neuramidase (WHO) : a. Zanamivir (relenza), b. Oseltamivir (tami flu). Dengan dosis 2x75 mg selama 1 minggu.
Departemen Kesehatan RI dalam pedomannya memberikan petunjuk sebagai berikut :
• Pada kasus suspek flu burung diberikan Oseltamivir 2x75 mg 5 hari, simptomatik dan antibiotik jika ada indikasi.
• Pada kasus probable flu burung diberikan Oseltamivir 2x75 mg selama 5 hari, antibiotic spectrum luas yang mencakup kuman tipik dan atipikal, dan steroid jika perlu seperti pada kasus pneumonia berat, ARDS. Respiratory care di ICU sesuai indikasi.

Sebagai profilaksis, bagi mereka yang beresiko tinggi, digunakan Oseltamivir dengan dosis 75 mg sekali sehari selama lebih dari 7 hari (hingga 6 minggu).


VIII. PENCEGAHAN
Pengendalian adalah aspek yang sangat penting dalam pencegahan transmisi walaupun belum ada bukti sahih adanya penularan dari manusia ke manusia yang berkelanjutan. Pencegahan transmisi dilakukan dengan melakukan perawatan isolasi dan perawatan pengendalian infeksi secara ketat menggunakan alat perlindungan personal dan metode kewaspadaan isolasi yang baik. Selain kewaspadaan standar (cuci tangan, sarung tangan, penggunaan bahan dekontaminan/desinfektan) perlu dilakukan pula kewaspadaan berdasar transmisi sesuai cara penularan (kontak, droplet & airborne). Penanganan limbah juga bagian yang sangat penting untuk pencegahan penularan. Adapun pencegahannya baik pada hewan ataupun pada manuasia :


a. Pada Unggas
1. Pemusnahan unggas/burung yang terinfeksi flu burung
2. Vaksinasi pada unggas yang sehat
b. Pada Manusia :
1. Kelompok berisiko tinggi ( pekerja peternakan dan pedagang)
a. Mencuci tangan dengan desinfektan dan mandi sehabis bekerja.
b. Hindari kontak langsung dengan ayam atau unggas yang terinsfeksi flu burung.
c. Menggunakan alat pelindung diri. (contoh : masker dan pakaian kerja).
d. Meninggalkan pakaian kerja ditempat kerja.
e. Membersihkan kotoran unggas setiap hari.
2. Masyarakat umum
a. Menjaga daya tahan tubuh dengan memakan makanan bergizi & istirahat cukup.
b. Mengolah unggas dengan cara yang benar, yaitu :
- Pilih unggas yang sehat (tidak terdapat gejala-gejala penyakit pada tubuhnya)
- Memasak daging ayam sampai dengan suhu ± 800C selama 1 menit dan pada telur sampai dengan suhu ± 640C selama 4,5 menit.


IX. PENGKAJIAN

1. Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, alamat, pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin dan penanggung jawab.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Data yang mungkin ditemukan demam (suhu> 37oC), sesak napas, sakit tenggorokan, batuk, pilek, diare
3. Riwayat kesehatan masa lalu
Apakah ada riwayat sakit paru-paru atau tidak.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama.
5. Riwayat perjalanan
Dalam waktu 7 hari sebelumnya apakah melakukan kunjungan ke daerah atau bertempat tinggal di wilayah yang terjangkit flu burung, mengkonsumsi unggas sakit, kontak dengan unggas / orang yang positif flu burung.
6. Kondisi lingkungan rumah
Dekat dengan pemeliharaan unggas dan memelihara unggas.
7. Pola fungsi keperawatan
• Aktivitas istirahat: lelah, tidak bertenaga.
• Sirkulasi: sirkulasi O2 < 95%, sianosis, • Eliminasi: diare, bising usus hiperaktif, karakteristik feces encer, defekasi > 3x/hari.
• Nyeri atau ketidaknyamanan: nyeri otot, sakit pada mata, konjungtivitis.
• Respirasi: sesak napas, ronchi, penggunaan otot bantu napas, takipnea, RR > 20x/menit, batuk berdahak.
• Kulit: tidak terjadi infeksi pada sistem integument.
• Psikososial: gelisah, cemas.







X. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan napas ditandai dengan dispnea, saat diaskultasi terdengar ronci, klien mengeluh batuk berdahak.
2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit ditandai dengan peningkatan suhu tubuh 37,50C, akral teraba panas, takipnea.
3. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan takipnea, kilen tampak menggunakan otot bantu pernafasan ,RR> 20 x /menit.
4. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler alveolar ditandai dengan dispnea, pemeriksaaan AGD abnormal, saturasi oksigen <95%. 5. Diare berhubungan dengan proses infeksi ditandai dengan bising usus hiperaktif, karakteristik feces encer, defekasi > 3kali perhari.
6. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis ditandai dengan klien mengeluh nyeri otot(myalgia), takipnea.
7. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan iritasi virus ditandai dengan konjungtivitis, klien mengeluh sakit mata.
8. Resiko cedera berhubungan dengan fungsi regulatori terganggu
9. Kelelahan berhubungan dengan stadium penyakit ditandai dengan klien tampak lelah, klien tampak tidak bertenaga.
10. Ansietas berhubungan dengan terpapar lingkungan ditandai dengan pasien tampak gelisah dan tampak cemas
11. PK infeksi









DAFTAR PUSTAKA

Emedicine.2009. http://id.shvoong.com/medicine-and-health/2004014-manajemen-klinis-kasus-flu-burung/#ixzz1RzrYHgri. I diakses pada 13 Juli 2011
Ester, Monica. 2011. NANDA internasional Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta : EGC
Depkes, Litbang. 2008. Flu Burung. www.litbang.depkes.go.id/maskes/072005/flu_burung.pdf diakses : 13 juli 2011
Radji ,Maksum . 2006. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. III, No.2, Agustus 2006, 55 – 65. Jakarta: UI
Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi V.Jakarta : Interna Publishing
WWW.CDC.COM (diakses pada tanggal : 13 juli 2011)


UNIVERSAL PRECAUTION

1.   FLU BURUNG

A.     Pengertian
Influenza burung atau avian influenza merupakan penyakit infeksi akibat virus influenza tipe A dan ditularkan melalui unggas. Penyakit flu burung disebabkan oleh virus avian influenza jenis H5N1 (FAO, Buku Petunjuk bagi Paramedik Veteriner).
B.     Cara penularan
Penularan penyakit ini kepada manusia dapat melalui :
·        Binatang : Kontak langsung dengan unggas atau binatang lain yang sakit atau produk unggas yang sakit.
·        Lingkungan : Udara atau peralatan yang tercemar virus tersebut baik yang berasal dari tinja atau sekret unggas yang terserang Flu Burung.
·        Manusia : Sangat terbatas dan tidak efisien (ditemukannya beberapa kasus dalam kelompok / cluster).
·        Makanan : Mengkonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak dengan sempurna di wilayah yang dicurigai atau dipastikan terdapat hewan atau manusia yang terinfeksi H5N1 dalam satu bulan terakhir.
C.     Universal Precaution
1.      Tujuan penerapan Universal Precaution pada pasien Flu Burung
·        Untuk mencegah penularan lebih luas.
·        Menjalankan perawatan sesuai dengan prosedur
2.      Penerapan Universal Precaution pada pasien Flu Burung
Untuk mencegah penyebaran virus flu burung di rumah sakit, semua pasien flu burung mulai dari kasus suspek hingga kasus terkonfirmasi harus dirawat di ruang isolasi dengan menerapkan isolasi ketat (strict barrier) dan selalu menerapkan Universal Precaution di setiap ruangannya.
Ruang Perawatan isolasi terdiri dari :
·        Ruang ganti umum
·        Ruang bersih dalam
·        Stasi perawat
·        Ruang rawat pasien
·        Ruang dekontaminasi
·        Kamar mandi petugas
Selain itu UP juga bisa diterapkan di Bandara Internasional, tempat petugas hewan, tempat pemeliharaan hewan unggas, petugas kesehatan hewan. Prinsip kewaspadaan airborne harus diterapkan di setiap ruang perawatan isolasi yaitu:
·        Ruang rawat harus dipantau agar tetap dalam tekanan negative dibanding tekanan di koridor.
·        Pergantian sirkulasi udara 6-12 kali perjam.
·        Udara harus dibuang keluar, atau diresirkulasi dengan menggunakan filter HEPA (High-Efficiency Particulate Air)
3.      Macam-macam alat pelindung yang dibutuhkan dalam penanganan Flu Burung serta Fungsi alat pelindung tersebut:
Jenis-jenis alat pelindung :
1.           MVC-307FSarung tangan
·        Sarung tangan kesehatan pendek
·        Sarung tangan kesehatan panjang/obgyn
·        Sarung tangan rumah tangga pendek
·        Sarung tangan rumah tangga panjang

2.           Pelindung wajah
·        Visor
·        Goggle / kacamata pelindung
·        Masker N 95 / N 100
·        Masker bedah / disposible
surgi mask MVC-305F
MVC-296F MVC-729F
3.           Penutup Kepala
IMG_1492
4.           Gaun Pelindung
·        Apron / celemek kedap air
·        Jas operasi
WearingGown
5.           Sepatu pelindung
IMG_1488
Manfaat Alat Pelindung :
Alat Pelindung
Terhadap Pasien
Terhadap Tenaga Kesehatan
Sarung Tangan
Mencegah kontak Mikroorganisme dari tenaga kesehatan kepada pasien.
Mencegah kontak tangan dengan darah/ cairan tubuh, mukosa, kulit luka atau alat kesehatan yang terkontaminasi.
Masker
Mencegah kontak droplet dari mulut dan hidung tenaga kesehatan, saat bernafas, bicara atau batuk di dekat pasien.
Mencegah mukosa tenaga kesehatan (hidung dan mulut) kontak dengan darah atau cairan tubuh pasien.
Kacamata Pelindung
-
Mencegah mukosa tenaga kesehatan kontak dengan darah atau cairan tubuh pasien.
Penutup Kepala
Mencegah jatuhnya mikroorganisme rambut/kepala tenaga kesehatan ke daerah steril.
-
Jubah dan Celemek Plastik
Mencegah kontak mikroorganisme dari tubuh/ pakaian tenaga kesehatan kepada pasien.
Mencegah kulit tenaga kesehatan kontak dengan darah atau cairan tubuh pasien.
Sepatu Pelindung
Mengurangi terbawanya mikroorganisme dari ruangan lain.
Mencegah kaki terluka oleh benda tajam yang terkontaminasi atau terjepit benda berat dan mencegah kontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya.


2.   SARS

A.     Pengertian
SARS singkatan dari Severe Acute Respiratory Syndrome adalah sekumpulan gejala sakit pernapasan yang mendadak dan berat atau disebut juga penyakit infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh virus Corona Family Paramyxovirus.
SARS (severe acute respiratory syndrome) adalah suatu jenis kegagalan paru-paru dengan berbagai kelainan yang berbeda, yang menyebabkan terjadinya pengumpulan cairan di paru-paru (edema paru). SARS merupakan kedaruratan medis yang dapat terjadi pada orang yang sebelumnya mempunyai paru-paru yang normal.
Alat Pelindung Diri adalah alat-alat yang mampu memberikan perlindungan terhadap bahaya-bahaya kecelakaan (Suma’mur,1991). Alat Pelindung Diri harus mampu melindungi pemakainya dari bahaya-bahaya kecelakaan yang mungkin ditimbulkan, oleh karena itu, APD dipilih secara hati-hati agar dapat memenuhi beberapa ketentuan yang diperlukan.



B.     Cara Penularan
Metode penularannya melalui udara serta kontak langsung dengan pasien atau terkena cairan pasien. Misalnya terkena ludah (droplet) saat pasien bersin dan batuk. Dan kemungkinan juga melalui pakaian dan alat-alat yang terkontaminasi.
Cara penularan : SARS ditularkan melalui kontak dekat, misalnya pada waktu merawat penderita, tinggal satu rumah dengan penderita atau kontak langsung dengan secret atau cairan tubuh dari penderita suspect atau probable.
Penularan melalui udara, misalnya penyebaran udara, ventilasi, dalam satu kendaraan atau dalam satu gedung diperkirakan tidak terjadi, asal tidak kontak langsung berhadapan dengan penderita SARS. Untuk sementara, masa menular adalah mulai saat terdapat demam atau tanda-tanda gangguan pernafasan hingga penyakitnya dinyatakan sembuh. Masa penularan berlangsung kurang dari 21 hari. Petugas kesehatan yang kontak langsung dengan penderita mempunyai risiko paling tinggi tertular, lebih-lebih pada petugas yang melakukan tindakan pada sistem pernafasan seperti melakukan intubasi atau nebulasi.
Corona menyebar lewat udara, masuk melalui saluran pernapasan, lalu bersarang di paru-paru. Lalu berinkubasi dalam paru-paru selama 2-10 hari yang kemudian menyebabkan paru-paru akan meradang sehingga bernapas menjadi sulit.
C.     Universal Precaution
·        PRINSIP JENIS-JENIS ALAT PELINDUNG DIRI
1.        SARUNG TANGAN : melindungi tangan dari bahan yang dapat menularkan penyakit dan melindungi pasien dari mikroorganisme yang berada di tangan petugas kesehatan. Sarung tangan merupakan penghalang (barrier) fisik paling penting untuk mencegah penyebaran infeksi. Sarung tangan harus diganti antara setiap kontak dengan satu pasien ke pasien lainnya, untuk menghindari kontaminasi silang


KAPAN PEMAKAIAN SARUNG TANGAN DIPERLUKAN
Meskipun efektifitas pemakaian sarung tangan dalam mencegah kontaminasi dari petugas kesehatan telah terbukti berulang kali (Tenorio et al. 2001) tetapi pemakaian sarung tangan tidak menggantikan kebutuhan untuk mencuci tangan. Sebab sarung tangan bedah lateks dengan kualitas terbaik sekalipun, mungkin mengalami kerusakan kecil yang tidak terlihat, sarung tangan mungkin robek pada saat digunakan atau tangan terkontaminasi pada saat melepas sarung tangan(Bagg, Jenkins dan Barker 1990; Davis 2001).

Tergantung keadaan, sarung tangan periksa atau serbaguna bersih harus digunakan oleh semua petugas ketika
¬        Ada kemungkinan kontak tangan dengan darah atau cairan tubuh lain, membran mukosa atau kulit yang terlepas
¬        Melakukan prosedur medis yang bersifat invasif misalnya menusukkan sesuatu kedalam pembuluh darah, seperti memasang infuse
¬        Menangani bahan-bahan bekas pakai yang telah terkontaminasi atau menyentuh permukaan yang tercemar
¬        Menerapkan Kewaspadaan Berdasarkan Penularan melalui kontak (yang diperlukan pada kasus penyakit menular melalui kontak yang telah diketahui atau dicurigal), yang mengharuskan petugas kesehatan menggunakan sarung tangan bersih, tidak steril ketika memasuki ruangan pasien. Petugas kesehatan harus melepas sarung tangan tersebut sebelum meninggalkan ruangan pasien clan mencuci tangan dengan air dan sabun atau dengan handrub berbasis alkohol.
Satu pasang sarung tangan harus digunakan untuk setiap pasien, sebagai upaya menghindari kontaminasi silang (CDC 1987). Pemakaian sepasang sarung tangan yang sama atau mencuci tangan yang masih bersarung tangan, ketika berpindah dari satu pasien ke pasien lain atau ketika melakukan perawatan di bagian tubuh yang kotor kemudian berpindah ke bagian tubuh yang bersih, bukan merupakan praktek yang aman. Doebbeling dan Colleagues (1988) menemukan bakteri dalam jumlah bermakna pada tangan petugas yang hanya mencuci tangan dalam keadaan masih memakai sarung tangan dan tidak mengganti sarung tangan ketika berpindah dari satu pasien ke pasien lain.
HAL YANG HARUS DILAKUKAN BILA PERSEDIAAN SARUNG TANGAN TERBATAS
Bila sumber daya terbatas dan jumlah sarung tangan periksa tidak memadai, sarung tangan bedah sekali pakai (disposable) yang sudah digunakan dapat diproses ulang dengan cara :
¬        Dekontaminasi dengan merendam dalam larutan Morin 0,5% selama 10 menit
¬        Dicuci dan bilas, serta dikeringkan
¬        Sterilkan dengan menggunakan autoklaf atau didisinfeksi tingkat tinggi (dengan dikukus).
Bila sarung tangan rumah tangga tidak tersedia, gunakan dug lapis sarung tangan periksa atau sarung tangan bedah yang telah diproses untuk memberikan perlindungan yang cukup bagi petugas kebersihan, petugas laundry, pekarya serta petugas yang menangani dan membuang limbah medis.
HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN PADA PEMAKAIAN SARUNG TANGAN
¬        Gunakan sarung tangan dengan ukuran yang sesuai, khususnya untuk sarung tangan bedah. Sarung tangan yang tidak sesuai dengan ukuran tangan dapat menggangu ketrampilan dan mudah robek
¬        Jaga agar kuku selalu pendek untuk menurunkan risiko sarung tangan robek
¬        Tarik sarung tangan ke atas manset gaup Oika Anda memakainya) untuk melindungi pergelangan tangan
¬        Gunakan pelembab yang larut dalam air (tidak mengandung lemak) untuk mencegah kulit tangan kering/berkerut
¬        Jangan gunakan lotion atau krim berbasis minyak, karena akan merusak sarung tangan bedah maupun sarung tangan periksa dari lateks
¬        Jangan menggunakan cairan pelembab yang mengandung parfum karena dapat menyebabkan iritasi pada kulit
¬        Jangan menyimpan sarung tangan di tempat dengan suhu yang terlalu pangs atau terlalu dingin misalnya di bawah sinar matahari langsung, di dekat pemanas, AC, cahaya ultraviolet, cahaya fluoresen atau mesin rontgen, karena dapat merusak bahan sarung tangan sehingga mengurangi efektifitasnya sebagai pelindung
REAKSI ALERGI TERHADAP SARUNG TANGAN
Reaksi alergi terhadap sarung tangan lateks semakin banyak dilaporkan oleh berbagai petugas di fasilitas kesehatan, termasuk bagian rumah tangga, petugas laboratorium dan dokter gigi.. Jika memungkinkan, sarung tangan bebas lateks (nitril) atau sarung tangan lateks rendah alergen harus digunakan, jika dicurigai terjadi alergi (reaksi alergi terhadap nitril juga terjadi, tetapi lebih jarang). Selain itu, pemakaian sarung tangan bebas bedak juga direkomendasikan. Sarung tangan dengan bedak dapat menyebabkan reaksi lebih banyak, karena bedak pada sarung tangan membawa partikel lateks ke udara. Jika hal ini tidak memungkinkan, pemakaian sarung tangan kain atau vinil di bawah sarung tangan lateks dapat membantu mencegah sensitisasi kulit. Meskipun demikian, tindakan ini tidak akan dapat mencegah sensitisasi pada membran mukosa mata dan hidung .(Garner dan HICPAC 1996).
Pada sebagian besar orang yang sensitif, gejala yang muncul adalah warna merah pada kulit, hidung berair dan gatal-gatal pada mata, yang mungkin berulang atau semakin parah misalnya menyebabkan gangguan pernafasan seperti asma. Reaksi alergi terhadap lateks dapat muncul dalam waktu 1 bulan pemakaian. Tetapi pada umumnya reaksi barn terjadi setelah pemakaian yang lebih lama, sekitar 3-5 tahun, bahkan sampai 15 tahun (Baumann 1992), meskipun pada orang yang rentan. Belem ada terapi atau desensitisasi untuk mengatasi alergi lateks, satu-satunya pilihan adalah menghindari kontak.

2.      MASKER : harus cukup besar untuk menutupi hidung, mulut, bagian bawah dagu, dan rambut pada wajah Oenggot). Masker dipakai untuk menahan cipratan yang keluar sewaktu petugas kesehatan atau petugas bedah berbicara, batuk atau bersin serta untuk mencegah percikan darah atau cairan tubuh lainnya memasuki hidung atau mulut petugas kesehatan. Bila masker tidak terbuat dari bahan tahan cairan, maka masker tersebut tidak efektif untuk mencegah kedua hal tersebut.

Masker yang ada, terbuat dari berbagai bahan seperti katun ringan, kain kasa, kertas dan bahan sintetik yang beberapa di antaranya tahan cairan. Masker yang dibuat dari katun atau kertas sangat nyaman tetapi tidak dapat menahan cairan atau efektif sebagai filter. Masker yang dibuat dari bahan sintetik dapat memberikan perlindungan dari tetesan partikel berukuran besar (>5 µm) yang tersebar melalui batuk ate bersin ke orang yang berada di dekat pasien (kurang dari 1 meter). Namun masker bedah terbaik sekalipun tidak dirancang untuk benar-benar menutup pas secara erat (menempel sepenuhnya pada wajah) sehingga mencegah kebocoran udara pada bagian tepinya. Dengan demikian, masker tidak dapat secara efektif menyaring udara yang dihisap (Chen dan Welleke 1992) dan tidak dapat direkomendasikan untuk tujuan tersebut.
Pada perawatan pasien yang telah diketahui atau dicurigai menderita penyakit menular melalui udara atau droplet, masker yang digunakan hares dapat mencegah partikel mencapai membran mukosa dari petugas kesehatan.
Masker dengan efisiensi tinggi merupakan jenis masker khusus yang direkomendasikan, bila penyaringan udara dianggap penting misalnya pada perawatan seseorang yang telah diketahui atau dicurigai menderita flu burung atau SARS. Masker dengan efisiensi tinggi misalnya N95 melindungi dari partikel dengan ukuran < 5 mikron yang dibawa oleh udara . Pelindung ini terdiri dari banyak lapisan bahan penyaring dan harus dapat menempel dengan erat pada wajah tanpa ada kebocoran. Dilain pihak pelindung ini juga lebih mengganggu pernafasan dan lebih mahal daripada masker bedah. Sebelum petugas memakai masker N95 perlu dilakukanfit test pada setiap pemakaiannya.
Ketika sedang merawat pasien yang telah diketahui atau dicurigai menderita penyakit menular melalui airborne maupun droplet, seperti misalnya flu burung atau SARS, petugas kesehatan harus menggunakan masker efisiensi tinggi. Pelindung ini merupakan perangkat N-95 yang telah disertifikasi oleh US National Institute for Occupational Safety dan Health (NIOSH), disetujui oleh European CE, atau standard nasional/regional yang sebanding dengan standar tersebut dari negara yang memproduksinya. Masker efisiensi tinggi dengan tingkat efisiensi lebih tinggi dapat juga digunakan. Masker efisiensi tinggi, seperti khusus nya N-95 , harus diuji pengepasannya (fit test) untuk menjamin bahwa perangkat tersebut pas dengan benar pada wajah pemakainya.

Pemakaian masker efisiens itinggi Petugas Kesehatan harus :
¬        Memeriksa sisi masker yang menempel pada wajah untuk melihat apakah lapisan utuh dan tidak cacad. Jika bahan penyaring rusak atau kotor, buang masker tersebut. Selain itu, masker yang ada keretakan, terkikis, terpotong atau, terlipat pada sisi dalam masker, juga tidak dapat digunakan
¬        Memeriksa tali-tali masker untuk memastikan tidak terpotong atau rusak. Tali harus menempel dengan balk di semua titik sambungan

3.      TOPI : digunakan untuk menutup rambut dan kulit kepala sehingga serpihan kulit dan rambut tidak masuk ke dalam luka selama pembedahan Topi harus cukup besar untuk menutup semua rambut. Meskipun topi dapat memberikan sejumlah perlindungan pada pasien, tetapi tujuan utamanya adalah untuk melindungi pemakainya dari darah atau cairan tubuh yang terpercik atau menyemprot.

4.       GAUN PELINDUNG : digunakan untuk menutupi atau mengganti pakaian biasa atau seragam lain, pada saat merawat pasien yang diketahui atau dicurigai menderita penyakit menular melalui dropletlairborne. Pemakaian gaun pelindung terutama adalah untuk melindungi baju dan kulit petugas kesehatan dari sekresi, espirasi.Ketika merawat pasien yang diketahui atau dicurigai menderita penyakit menular tersebut, petugas kesehatan harus mengenakan gaun pelindung setiap memasuki ruangan untuk merawat pasien karena ada kemungkinan terpercik atau tersemprot darah, cairan tubuh, sekresi atau ekskresi. Pangkal sarung tangan harus menutupi ujung lengangan sepenuhnya. Lepaskan gaun sebelum meninggalkan areap asien. Setelah gaun dilepas, pastikan bahwa pakaian dan kulit tidak kontak dengan bagian yang potensial tercemar lalu cuci tangan segera untuk mencegah berpindahnya organisme.

5.      APRON : yang terbuat dari karet atau plastik, merupakan penghalang tahan air untuk sepanjang bagian depan tubuh petugas kesehatan (Gambar 5-5). Petugas kesehatan harus mengenakan apron di bawah gaun penutup ketika melakukan perawatan langsung pada pasien.membersihkan pasien, atau melakukan prosedur dimana ada risiko tumpahan darah, cairan tubuh atau sekresi. Hal mencegah cairan tubuh pasien ini penting jika gaun pelindung tidak tahan air Apron mengenai baju dan kulit petugas kesehatan

6.      PELINDUNG KAKI : digunakan untuk melindungi kaki dari cedera akibat benda tajam atau benda berat yang mungkin jatuh secara tidak sengaja ke atas kaki. Oleh karena itu, sandal, "sandal jepit" atau sepatu yang terbuat dari bahan lunak (kain) tidak boleh dikenakan. Sepatu boot karet atau sepatu kulit tertutup memberikan lebih banyak perlindungan, tetapi harus dijaga tetap bersih dan bebas kontaminasi darah atau tumpahan cairan tubuh lain. Penutup sepatu tidak diperlukan jika sepatu bersih. Sepatu yang tahan terhadap benda tajam atau kedap air harus tersedia di kamar bedah. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penutup sepatu dari kain atau kertas dapat meningkatkan kontaminasi karena memungkinkan darah merembes melalui sepatu dan seringkali digunakan sampai di luar ruang operasi. Kemudian dilepas tanpa sarung tangan sehingga terjadi pencemaran (Summers e t al. 1992)

PEMAKAIAN APD DI SARANA PELAYANAN KESEHATAN: 
BAGAIMANA MENGENAKAN, MENGGUNAKAN DAN MELEPAS APD
Farktor-faktor penting yang harus diperhatikan pada pemakaian APD
¬     Kenakan APD sebelum kontak dengan pasien, umumnya sebelum memasuki ruangan
¬     Gunakan dengan hati-hati- jangan menyebarkan kontaminasi
¬     Lepas dan buang secara hati-hati ke tempat sampah infeksius yang telah disediakan di ruang ganti khusus . Lepas masker di luar ruangan
¬     Segera lakukan pencucian tangan dengan 7 langkah higiene tangan


Mengenakan APD
Urutan* mengenakan APD
1.      Pelindung Kaki
2.      Apron, Gaun Pelindung dan Topi
3.      Masker
4.      Kacamata atau Pelindung wajah
5.      Sarung tangan

§         Gaun pelindung
Tutupi badan sepenuhnya dari leher hingga lutut, lengan hingga bagian dan selubungkan ke belakang punggung Ikat di bagian belakang leher dan pinggang
§         Masker
-  Eratkan tali atau karet elastis pada bagian tengah kepala dan leher
-  Paskan klip hidung dari logam f leksibel pada batang hidung
-  Paskan dengan erat pada wajah dan dibawah dagu baik
-  Periksa ulang pengepasan masker sehingga melekat dengan
§         Kacamata atau pelindung wajah
Pasang pada wajah dan mata dan sesuaikan agar pas
§         Sarung Tangan
Tarik hingga menutupi pergelangan tangan gaun isolasi
Cara Melepas APD
Kecuali masker, lepaskan APD di pintu atau di anteroom. Masker dilepaskan setelah meninggalkan ruangan pasien dan menutup pintunya.

Urutan Melepaskan APD
1.      Sarung tangan
2.      Kacamata atau pelindung wajah
3.      Apron, Gaun pelindung dan Topi
4.      Masker
5.      Pelindung kaki
*likuti urutan untuk meminimalkan penyebaran penyakit!
1.    Sarung tangan
-       Ingatlah bahwa bagian luar sarung tangan telah terkontaminasi!
-       Pegang bagian luar sarung tangan dengan sarung tangan lainnya, lepaskan
-       Pegang sarung tangan yang telah dilepas dengan menggunakan tangan yang masih memakai sarung tangan
-       Selipkan jari tangan yang sudah tidak memakai sarung tangan di bawah sarung tangan yang belum dilepasdi pergelangan tangan
-       Lepaskan sarung tangan di atas sarung tangan pertama
-       Buang sarung tangan di tempat sampah infeksius
2. Kacamata atau pelindung wajah
-       Ingatlah bahwa bagian luar kacamata atau pelindung wajah telah terkontaminasi!
-       Untuk melepasnya, pegang karet atau gagang kacamata
-       Letakkan di wadah yang telah disediakan untuk diproses ulang atau dalam tempat sampah infeksius
3.             Gaun pelindung
-       Ingatlah bahwa bagian depan gaun dan lengan gaun pelindung telah terkontaminasi!
-       Lepas tali
-       Tarik dari leher dan bahu dengan memegang bagian dalam gaun pelindung saja
-       Balik gaun pelindung
-       Lipat atau gulung menjadi gulungan dan letakkan di wadah yang telah disediakan untuk diproses ulang atau buang di tempat sampah infeksius
4.             Masker
-       Ingatlah bahwa bagian depan masker telah terkontaminasi - JANGAN SENTUH!
-       Lepaskan tali bagian bawah dan kemudian tali atau karet bagian atas
-       Buang ke tempat sampah infeksius


3. FLU BABI
A. Pengertian
Flu babi merupakan penyakit yang menyerang saluran pernafasan babi yang disebabkan virus influenza tipe A subtype H1N1.
B. Cara Penularan
Virus influenza diperkirakan menyebar dari orang yang terinfeksi dan babi untuk orang lain dan terutama babi menular melalui droplet  dikeluarkan saat batuk atau bersin. Bukti lainya  virus influenza dapat ditularkan melalui kontak dengan permukaan terkontaminasi dengan virus influenza. modus yang mungkin penularan adalah melalui rute udara di mana partikel kecil yang berisi virus yang terhirup , penularan ini belum dapat dibuktikan 
C.Universal Precaution
Infection controll  untuk mencegah penularan virus flu babi dari babi ke manusia adalah :
 •Cuci tangan
Kebersihan tangan harus dilakukan setelah kontak dengan hewan atau lingkungan mereka, peralatan dan permukaan yang mungkin terkontaminasi dengan virus influenza, dan setelah melepas peralatan pelindung pribadi (PPE) dan / atau mungkin pakaian yang terkontaminasi. Kebersihan tangan yang baik harus terdiri dari cuci dengan sabun dan air selama 20 detik atau penggunaan standar lainnya tangan desinfeksi prosedur sebagaimana ditentukan oleh negara, industri pemerintah, Pedoman pengendalian  H1N1 di babi di Amerika Serikat untuk membatasi kemungkinan penularan virus influenza dan patogen lainnya. Pekerja harus menghindari menyentuh atau menggosok mata, hidung, dan mulut ketika bekerja di sekitar babi.

• Vaksinasi babi
Vaksinasi babi dengan vaksin flu yang efektif terhadap strain beredar dapat mengurangi risiko flu pada babi dan mungkin mengurangi risiko orang terinfeksi dengan virus influenza babi. Namun, karena berbagai strain virus influenza mungkin menjadi co-beredar dalam populasi babi AS dan karena vaksin flu babi tidak 100% efektif, vaksinasi babi tidak akan menghilangkan risiko infeksi manusia dari virus flu babi.

• Para pekerja harus mematuhi rekomendasi untuk penggunaan peralatan pelindung diri (APD).
Peralatan Perlindungan Pribadi (
Personal Protective Equipment /PPE)
Pekerja peternakan babi harus diminta untuk memakai APD setiap kali mereka mungkin terkena hidup babi mungkin terinfeksi dengan virus influenza babi.
Kepatuhan terhadap rekomendasi APD mungkin mengurangi eksposur pekerja untuk virus influenza dan dapat mengurangi kemungkinan membawa bahan terkontaminasi luar gudang atau tempat kerja. Pekerja harus disediakan dengan PPE yang sesuai dan instruksi dan pelatihan dalam perawatan dan penggunaan APD. APD harus mencakup respirator untuk mengurangi paparan inhalasi partikel kecil yang mungkin mengandung influenza viruses1. (NIOSH,2009
)
 
Pekerja peternakan babi harus mematuhi praktek-praktek berikut:
• Pakailah pakaian pelindung, pakaian luar sebaiknya sekali pakai atau baju yang dicuci di tempat kerja setelah setiap penggunaan. Untuk meminimalkan risiko stres panas/ kegerangan, memakai pakaian ringan di bawah pakaian pelindung saat yang tepat.
• Pakailah sepatu karet atau poliuretan yang dapat dibersihkan dan didesinfeksi atau pakai penutupsepatupelindung.
• Kenakan sarung tangan sekali pakai yang terbuat dari nitril ringan atau vinil atau sarung tangan kerjatugasberatkaretyangdapatdidesinfeksi.
o Untuk melindungi dermatitis, yang dapat terjadi dari paparan jangka panjang dari kulit untuk kelembaban dalam sarung tangan yang disebabkan oleh keringat, memakai sarung tangan katun tipisdi
dalamsarungtanganeksternal.
oGanti sarung tangan jika mereka robek atau rusak.
o Lepas sarung tangan segera setelah digunakan, sebelum menyentuh barang yang tidak terkontaminasiataupermukaanlingkungan.
o Lepaskan sarung tangan sekali pakai dengan mengubahnya dalam ke luar atas tangan dan ditempatkan di tempat sampah setelah digunakan.
Cuci tangan setelah sarung tangan dan APD lainnya dilepaskan.
• Pakailah kacamata pengaman untuk melindungi selaput lendir maya .Kenakan masker  penutup wajah sesuai rekomendasi NIOSH berfungsi menyaring udara pernapasan  (misalnya, N-95, P-100 atau N-100 filtering penutup wajah respirator) yang merupakan tingkat minimum perlindungan pernapasan. Tingkat atau perlindungan pernapasan yang lebih tinggi mungkin telah digunakan dalam operasi babi karena bahaya lain yang ada di lingkungan (misalnya, debu). Pekerja harus menegnakan perlindungan yang direkomendasikan NIOSH-bersertifikat tingkat perlindungan yang lebih tinggi mungkin diperlukan pada kasus swine flu seperti :masker wajah yang sesuai , pelindung rambut yaitu, helm atau berkerudung, powered air purifying respirator (PAPR) dilengkapi dengan filter efisiensi tinggi.
• Kenakan pelindung , kepala ringan atau rambut mencakup untuk mencegah kontaminasi rambut ketika mandi atau keluar peternakan.
• Buang APD sekali pakai dengan benar, serta membersihkan dan membersihkan non-sekali pakai APD sebagaimana ditentukan dalam pemerintahan negara, industri. (misalnya nondisposible  pakaian harus dicuci setiap hari atau setelah setiap kali digunakan).
• Menegakkan tindakan biosekuriti dan praktek untuk mencegah masuknya agen infeksius dari satu unit rumah babi yang lain. Informasi lebih lanjut tentang penggunaan disinfektan dan daftar produk antimikroba yang terdaftar untuk digunakan melawan flu H1N1 dan virus influenza lainnya . Membersihkan kandang babi dengan desinfektan.
• Segera mandi. Mandi di peternakan bila tersedia mencegah penularan keluar peternakan. Mencuci pakaian kerja di lokasi atau tempat dalam kantong plastik untuk mencuci secara terpisah dari non-kerja binatu keluarga.
• Cuci tangan selama 20 detik dengan sabun dan air setelah melepasakan APD  atau kontak dengan hewan yang terinfeksi atau permukaan yang mungkin terkontaminasi.

PERAWATAN JENAZAH PASIEN
FLU BURUNG
Penatalaksanaan terhadap jenazah pasien flu burung dilakukan secara khusus sesuai dengan  Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular :
a.       Memperhatikan norma agama atau kepercayaan dan perundangan yang berlaku.
b.      Pemeriksaan terhadap jenazah dilakukan oleh petugas kesehatan.
c.       Perlakuan terhadap jenazah dan penghapus-hamaan bahan dan alat yang digunakan dalam penatalaksanaan jenazah dilakukan oleh petugas kesehatan.
Jenazah tidak akan menimbulkan ancaman kesehatan jika ditangani secara benar. Sebaliknya, jenazah bisa menimbulkan penyakit jika penanganannya tidak memadai. Menurut Departemen Kesehatan RI, urutan perlakuan yang diberikan pada jenazah pasien flu burung adalah berikut :
1.      Luruskan tubuh pasien.
2.      Lepaskan alat kesehatan yang terpasang pada tubuh pasien.
3.      Tutup mata, telinga, dan mulut dengan kapas maupun plester kedap air.
4.      Setiap luka harus diplester dengan rapat.
5.      Jenazah ditutup dengan kain kafan atau bahan atau bahan dari plastik (bahan tidak tembus air).  Dapat juga jenazah ditutup dengan bahan kayu atau bahan lain yang tidak mudah tercemar.
6.      Jenazah yang sudah dibungkus tidak boleh dibuka lagi.
7.      Jenazah tidak boleh dibalsem ataupun disuntik pengawet (formalin atau formaldehida).
8.      Jika jenazah akan diautopsi, maka akan dilakukan oleh petugas khusus dan autopsi dapat dilakukan jika sudah ada izin dari pihak keluarga dan direktur rumah sakit.
9.      Jenazah hanya boleh diangkut oleh mobil jenazah.
10.  Jenazah tidak boleh disemayamkan lebih dari 4 jam di dalam pemulasaran jenazah.
11.  Jenazah dapat dikubur dalam tempat pemakaman umum dan dapat disaksikan oleh seluruh anggota keluarga setelah semua prosedur di atas telah dilalui.
Commonwealth of Australia Interim Pandemic Influenza Infection Control Guidelines tidak merekomendasikan untuk membalsem jenazah pasien korban flu burung apabila terjadi pandemi flu burung. Namun jika ini harus dilakukan untuk alasan budaya dan sosial, maka pembalseman dapat dilakukan dengan syarat :
Ø      Petugas yang melakukan pembalseman harus memiliki sertifikat dari institusi yang disetujui oleh direktur umum dari Departemen Kesehatan New South Wales (NSW).
Ø      Petugas yang melakukan pembalseman harus mengenakan alat perlindungan diri yang lengkap (masker N95, baju panjang, sarung tangan, penutup kepala, dan kaca mata khusus).
Sebenarnya pelarangan Departemen Kesehatan RI terhadap penggunaan formalin terhadap jenazah pasien flu burung sudah tidak tepat, karena ini akan membuat risiko petugas yang mengurus jenazah untuk tertular flu burung menjadi lebih besar. Jika jenazah pasien flu burung bisa diformalin, maka akan menurunkan risiko menularnya virus flu burung karena virus ini mudah mati dalam formalin.
Perawatan jenazah pasien flu burung di Laboratorium/SMF Forensik Universitas Udayana RSUP Sanglah sendiri sedikit berbeda dengan yang direkomendasikan oleh Departemen Kesehatan RI. Berikut ini adalah tata cara perawatan jenazah pasien dengan infeksi menular seperti: HIV/AIDS, hepatitis, flu burung, anthrax, kholera, dan pes di RSUP Sanglah :
1.      Jenazah diberi label merah.
2.      Jenazah dibiarkan dalam suhu ruangan selama minimal 4 jam sebelum jenazah di bawa pulang atau dimasukkan dalam cooling unit.
3.      Mandikan jenazah dengan larutan pemutih pakaian dengan perbandingan 1:10.
4.      Apabila ada luka di tubuh jenazah, harus ditutup dengan plester kedap air.
5.      Setiap lubang alamiah tubuh ditutup dengan kapas yang dibasahi dengan larutan pemutih pakaian dengan perbandingan 1:10.
6.      Jenazah harus segera diawetkan dengan larutan formalin.
7.      Setelah dikafani, jenazah dimasukkan dalam kantung jenazah yang kedap air.
8.      Jenazah dimasukkan ke dalam peti dan disegel.
Menurut WHO, apabila jenazah akan diautopsi maka jenazah dapat disimpan dalam lemari pendingin. Apabila anggota keluarga ingin menyentuh tubuh jenazah, hal itu dapat diizinkan dengan memakai apron dan sarung tangan setelah sebelumnya keluarga mencuci tangan dengan sabun dan tubuh jenazah yang disentuh sebelumnya dibersihkan dengan antiseptik standar (alkohol 70%).
Petugas di pemulasaran jenazah harus menjalankan proseduruniversal precaution, yaitu dengan memakai alat perlindungan seperti:
1.      Apron lengan panjang dari bahan plastik.
2.      Tutup kepala.
3.      Kaca mata google.
4.      Masker.
5.      Sarung tangan.
6.      Sepatu boot.
Apabila alat-alat ini setelah dipakai harus direndam dalam larutan pemutih pakaian dengan perbandingan 1:10 selama 10 menit. Setelah merawat jenazah pasien tersebut, petugas wajib mencuci tangan dengan sabun sebelum dan setelah membuka sarung tangan.








DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Tatalaksana Jenazah Dengan flu Burung.
Anonim. Pedoman Penatalaksanaan Flu Burung di Rumah Sakit. 
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Penanganan Jenazah di Daerah Bencana; 18 Juli 2011. Diunduh dari: http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&amp;task=viewarticle&amp; sid=3025. 18 Juli 2011.
www.cdc.gov/ Preventing transmission of influenza viruses from pigs to people diakses pada 18 juli 2011